JAKARTA – Hambatan dagang Uni Eropa terhadap minyak kelapa sawit Indonesia memasuki babak baru pasca perencanaan skema Indirect Land Use Change (ILUC) untuk melaksanakan Program Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.

Rencananya, ILUC akan dijadikan acuan dalam menetapkan risiko yang ditimbulkan oleh komoditas pertanian dan perkebunan terhadap pembangunan berkelanjutan. Nantinya, ILUC akan membagi komoditas pertanian dan perkebunan ke dalam beberapa kategori, mulai dari yang berisiko tinggi hingga berisiko rendah.

Kategori itu pada akhirnya akan menjadi referensi dalam menentukan peluang komoditas yang bersangkutan untuk memasuki pasar Uni Eropa (ITE).

Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Keberlanjutan Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapkil) Togar Sitanggang menjelaskan, Indonesia meminta keterbukaan UE ketika mengimplementasikan skema ILUC, yang ditargetkan sebelum Februari 2019.

Menurutnya, UE selama ini menunjukkan indikasi proteksionisme terhadap industri minyak nabati dalam negeri mereka yakni minyak rapeseed dan minyak bunga matahari. Pasalnya, kedua komoditas minyak nabati pesaing minyak kelapa sawit tersebut sampai saat ini masih mengalami kelebihan stok di UE.

“Kami sudah sampaikan ke UE, melalui Duta Besar UE untuk Indonesia Vincent Guerrend, terkait dengan masukan kami dan juga [pengajuan] skema ILUC versi Indonesia. Mereka pun berjanji untuk transparan dan adil dalam menetapkan ILUC,” katanya kepada Bisnis, Senin (2/10).

Togar menegaskan, proses lobi-lobi ke Pemerintah UE terus dilakukan oleh Indonesia. Buktinya, pada akhir bulan ini, Parlemen UE dijadwalkan datang ke Tanah Air. Momentum itu akan dimanfaatkan untuk membahas ILUC dan dampaknya terhadap ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia. Sebab, Eropa selama ini menguasai 30% dari pasar ekspor minyak sawit nasional.

Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan berpendapat, CPO dan produk turunannya asal Indonesia terancam gagal mengakses UE akibat skema ILUC. Pasalnya, RI dituding kerap melakukan alih guna lahan hutan untuk menanam kelapa sawit.

“Kami terus menjelaskan ke UE agar jangan menyamakan proses dan alasan alih guna lahan yang dilakukan di Indonesia dengan yang terjadi di kawasan mereka.”

Dia menjabarkan, proses alih guna lahan di Eropa tak signifikan lantaran lambatnya pertumbuhan penduduk di sana. Sebaliknya, di Indonesia, pertumbuhan penduduknya tergolong tinggi.

Akibatnya, kebutuhan lahan perumahan menjadi tinggi, sehingga pebisnis perkebunan terpaksa membuka lahan untuk tanamannya di kawasan yang tak mengganggu areal perumahan warga.

“Untuk melobi UE, kami juga menyiapkan skema ILUC versi Indonesia, supaya UE punya skema pembanding dan tidak hanya menetapkannya secara sepihak,” lanjutnya.

KEMBALIKAN AKSES

Sementara itu, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan akan menghadiri pertemuan dengan importirsawitUE di Europeanpalm oil Conference (EPOC) di Madrid, Spanyol pada 3-4 Oktober 2018.

“Kami masih terus usahakan agar CPO kembali diterima di sana. Lobi-lobi terus kami kencangkan, karena ini berkaitan dengan potensi pendapatan devisa kita.”

Pada perkembangan lain, negara-negara produsen sawit di bawah naungan Council of palm oil Producing Countries (CPOPC) mengambil sikap terhadap arah kebijakan UE dalam menetapkan skema ILUC. Sikap tersebut dituangkan dalam kesepakatan bersama antara Kolombia, Indonesia dan Malaysia di Cartagena, Kolombia pada 26 September 2018.

Direktur Eksekutif CPOPC Mahendra Siregar mengungkapkan, Komisi Eropa diminta menetapkan ILUC dengan mengacu kepada aturan renewable energy Directive (RED) II.

“Sampai saat ini belum muncul rancangan yang jelas dari UE, untuk menetapkan mana komoditas yang berisiko tinggi dan rendah dalam ILUC mereka. Namun, sejauh ini indikasinya ILUC yang akan diadopsi UE adalah skema yang didasari oleh perspektif tunggal UE dan AS, padahal seharusnya perspektifnya global,” kata Mahendra.

Dia pun menduga skema tersebut akan digunakan UE untuk memproteksi minyak nabati buatan Eropa dari gempuran CPO.

Tingginya perhatian UE terhadap biofuel juga menjadi perhatian. Pasalnya, luas lahan yang dipakai untuk sumber biofuel mencapai 4% dari total luas lahan pangan di dunia yang mencapai 1,7 miliar hektare.

Mahendra menegaskan, apabila ILUC dijadikan dalih untuk membatasi akses CPO ke UE, maka blok negara terbesar di Eropa itu berpeluang melanggar prinsip perdagangan di World Trade Organization (WTO) terkait dengan azas nondiskriminasi.

Terlebih, menurutnya, industri kelapa sawit telah berkontribusi pada pengurangan kemiskinan serta kemajuan sosial dan ekonomi di negara-negara produsen minyak kelapa sawit, yang selaras dengan konsep SDGs 2030.

 

Sumber: Bisnis Indonesia