Pemerintah sedang menyusun rencana meluncurkan bursa berjangka minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Meski memberikan dampak positif bagi industri kelapa sawit nasional, namun ada beberapa hal yang perlu mendapat pertimbangan dari pemerintah.
Setidaknya ada 3 hal penting yang perlu menjadi catatan bagi pemerintah dalam mengimplementasikan bursa CPO tersebut.
1. Fee Transaksi Bursa CPO Jangan Beratkan Pengusaha
Ekonom senior INDEF, Fadhil Hasan mengatakan, poin penting yang harus diperhatikan adalah besaran fee atau pungutan yang dikenakan terhadap para anggota bursa dalam bertransaksi tidak memberatkan.
“Ini kan ada pungutan juga, ada fee yang harus dibayar. kita belum tahu berapa besarannya, tapi tentunya jangan memberatkan,” tegas dia kepada detikcom, Minggu (6/8/2023).
Alasannya, lanjut dia, saat ini para pelaku usaha sudah dibebani banyak pungutan yang memberatkan dari aktivitas ekspor produk CPO dan turunannya.
Bertambahnya beban dari pungutan dikhawatirkan bisa membuat produk-produk sawit nasional jadi tidak kompetitif di pasar internasional.
“Karena selama ini sudah cukup banyak pungutan dan pajak yang harus dibayar. Ada pajak ekspor, ada pungutan ekspor dan lainnya. Kalau fee ini nantinya (bursa CPO) tinggi, tentunya akan membuat sawit kita tidak akan kompetitif di pasar internasional. yang ujungnya mengurangi daya saing industri. Kita saja daya saing kita kalah dari Malaysia, karena di sana minim pungutan,” beber dia.
2. Harus Transparan
Aspek berikutnya yang perlu menjadi catatan, lanjut Fadhil, adalah perihal transparansi pengelolaan bursa CPO tersebut.
Dalam konteks ini, Fadhil menyoroti pihak yang bakal ditunjuk sebagai operator atau pengelola bursa.
“Proses penunjukkan siapa yang menjalankan bursa itu, artinya lembaganya siapa harus transparan. Kami melihat prosesnya kurang transparan. siapa yang ditunjuk pelalsana bursa itu, apakah ICDX, bursa berjangka, atau KPB?” lanjut dia.
3. Jadi Acuan Harga dan Perhitungan Pajak
Terpisah, Pengamat Ekonomi dan Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menegaskan, implementasi Bursa CPO di Indonesia ini harus didukung oleh aturan yang ada.
Jangan sampai, bursa CPO ini hanya menitikberatkan pelaku ekspor saja. Sementara aturan yang ada tidak melibatkan lemabaga dan pemangku kepentingan yang lain sehingga Bursa CPO RI gagal menjadi acuan dalam pembentukan harga di pasar internasional.
“Bisa saja, pada saat bursa kemudian sudah siap dibentuk kemudian tidak terjadi referensi harga kemudian nggak jalan nih harganya, nah ini malah jadi boomerang. Pertama jadi boomerang bagi pengusaha atau pemerintah sendiri,” tegasnya.
Senada, Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan, dalam hal implementasinya, Bursa CPO juga harus menjadi acuan bagi lembaga lain seperti perpajakan.
Jangan sampai, acuan nilai transaksi menggunakan bursa CPO RI namun penghitungan pajaknya menggunakan bursa CPO negara lain. Perlu diketahui, saat ini ada sejumlah bursa sawit yang digunakan sebagai acuan harga sawit internasional yakni Bursa Rotterdam dan Bursa Malaysia.
“Aneh kan kita yang punya komditasnya tapi ketika nggak ada acuan bursanya, kita acuannya ke luar kan Rotterdam dan Malasyia,” tegas dia.
Ia melanjutkan, penggunaan bursa lokal sebagai acuan perhitungan pajak dinilai lebih adil karena harga yang terbentuk lebih mencerminkan situasi pasar lokal di Indonesia sebagai produsen sawit terbesar.
Hal ini berbeda bila perhitungan pajak tetap mengacu pada bursa Rotterdam dan Malaysia. Akan ada bias atau gap perhitungan pajak bila acuan pajak dan acuan harga jual tidak menggunakan satu bursa yang sama.
“Kan sebenarnya ada gap juga antara harga ril dan harga di sana (Rotterdam dan Malaysia). Ketika ada bursa, kan kita bisa meminimalisir gap harga tersebut, meminimalisir gap itu. Di pasar ril segini lho, hitungannya gambarannya sekian. Kalau di Rotterdam beda lagi kan,” simpul dia.
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6861957/tiga-catatan-buat-bursa-cpo-ri#