Jakarta – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati melantik Eddy Abdurrachman sebagai Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (Dirut BPDPKS) menggantikan Dono Boestami.

Sebagaimana diketahui BPDPKS adalah Badan Layanan Umum dibawah Kementerian Keuangan yang bertugas mengelola dana perkebunan kelapa sawit.

Sri menyampaikan pesan kepada Eddy bahwa tugas dan tanggung jawab Dirut BPDPKS sangat berat dan penuh tantangan. Sebab saat ini Indonesia telah menjadi negara produsen Kelapa Sawit terbesar di dunia atau lebih dari dari 55 persen produksi dunia. Industri sawit telah menjadi penghasil devisa terbesar dengan kontribusi sebesar 13,5 persen dari total ekspor non migas sebesar USD22.3 miliar. Selain itu, Industri Sawit juga meningkatkan kemandirian energi dengan cara menggantikan bahan bakar fosil dengan bahan bakar terbarukan berbahan dasar sawit.

“Melalui program Bauran biodiesel 30% (B30), industri sawit bisa berperan dalam penghematan devisa melalui pengurangan impor solar senilai USD8 miliar/tahun”ungkap Sri.

Tahun 2019, Sri mengatakan, industri sawit mengalami tekanan yang cukup berat, dimana harga CPO jatuh sampai di bawah harga keekonomiannya. Hal ini tentu sangat berdampak pada harga tandan buah segar di tingkat petani.

Pemerintah kemudian mengambil kebijakan un tuk tidak memberlakukan pungutan untuk meringankan beban industri kelapa sawit.

Disamping itu, untuk mengurangi kelebihan stock Crude Palm Oil (CPO) pemerintah mengambil kebijakan untuk memberlakukan program (B30) mulai 1 Januari 2020 sebagai salah instrumen stabilisasi harga. Program ini berhasil mengangkat harga sampai diatas harga keekonomiannya.

“Saat ini harga CPO di atas USD750 per ton dan telah dikenakan pungutan kembali karena harga sudah di atas batas” Menkeu juga menerangkan “perlu diwaspadai, pelemahan ekonomi dunia sebagai dampak perkembangan virus novel corona terhadap permintaan CPO dunia, dalam hal ini Tiongkok sebagai importir terbesar kedua dari CPO kita,” papar Sri.

Atasa dasar itulah, Sri kembali mengingatkan agar BPDPKS tetap menjaga akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan. “Saya harap Saudara Eddy dengan bekal jabatan sebelumnya sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai serta Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bisa memanfaatkan dana yang dikelola BPDPKS untuk aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan tujuan membangun industri berkelanjutan,” ucap Sri.

Menurut Sri, salah satu hal yang perlu diperhatikan terkait pengelolaan dana BPDPKS adalah program peremajaan tanaman. “Sesuai arahan Presiden, program peremajaan harus dilakukan untuk 500 ribu HA dalam waktu tiga tahun. Saya ingin agar peremajaan menjadi fokus,” jelas Sri.

Sehingga, Sri menghimbau BPDPKS bisa menggandeng penguatan pembiayaan untuk peremajaan sawit dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Prosedur peremajaan Kelapa Sawit juga telah dipermudah, dari sebelumnya terdapat 14-syarat, menjadi 8 syarat. Selanjutnya, sesuai arahan Komite Pengarah agar dipermudah lagi menjadi 2 syarat.

Artinya untuk proses peremajaan dapat dipercepat dengan dukungan berbagai pihak. “Percepatan peremajaan akan dapat meningkatkan produktivitas kebun dan meningkatkan kesejahteraan petani. Keberhasilan peremajaan juga akan menjaga ketersediaan bahan baku biodiesel (B30) dengan harga yang lebih murah. Selain itu, juga dapat meningkatkan pasokan pengembangan energi lanjutan B30 menjadi green diesel, green gasoline dan green fuel untuk menuju kemandirian energi nasional,” kata Sri.

Sementara itu, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mempertanyakan dasar diangkatnya Eddy Abdurrachman sebagai Durut BPDPKS.

Sekjen SPKS Mansuetus Darto mengatakan, penggantian itu tidak mencerminkan niat baik pemerintah untuk metransformasikan lembaga ini menjadi lebih baik dan transparan. Pasalnya, Dirut lama tidak memiliki penge-tahuan soal Kelapa Sawit hanya dibekali dengan pengalaman disektor pengelolaan keuangan.

“Penggantinya yang baru ini juga tidak kenal sawit sama sekali dan dia itu orang kementrian keuangan, bagaimana bisa memimpin sebuah badan yang mengurus sawit?” Tanya Darto dalam pesan singkatnya.

Menurut Darto, selama ini petani Kelapa Sawit gerah dengan BPDP-KS karena mayoritas dana yang dikelolanya untuk mensubsidi Iidustri biodiesel. Hingga akhir 2019, sebanyak 28 Triliun rupiah telah dialirkan ke industri biodiesel dan hanya 2% mendukung petani dalam bentuk peremajaan sawit dan pelatihan petani.

Padahal dalam UU Perkebunan pasal 93 ayat 4, Badan ini setidaknya harus mendukung 5 aktivitas utama yakni Penguatan Sumber Daya Manusia, Penelitian, Dukungan sarana prasarana, peremajaan sawit dan promesi Kelapa Sawit “Dari semua aktivitas itu, hanya Peremajaan sawit dan penguatan SDM petani saja dilakukan dan itupun penguatan SDM bagi petani hanya dilakukan pada 2017 saja dengan alokasi sebesar 15 Miliar,” keluh Darto.

Darto berpendapat, “penggantian ini erat kaitannya dengan politik transaksional pasca pemilu 2019 dan kepentingan industri biodiesel. Semua orang-orang politik dari partai politik dan industri biodiesel lihai menempatkan orang-orang titipannya di berbagai lembaga.”

 

Sumber: Harian Ekonomi Neraca