Indonesia mulai melirik potensi minyak sawit untuk dijadikan bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan. Minyak sawit akan didorong menjadi salah satu dari banyak opsi energi bersih terbarukan (EBT).

Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan. Sayangnya pemenuhan bahan bakar yang bersumber dari fosil ini masih dipenuhi dari impor.

Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan, perkiraan oversupply crude palm oil (CPO) sawit dan ancaman larangan penggunaan minyak sawit di Eropa dan Amerika, mendorong diversifikasi penggunaan BBM berbasis minyak sawit sebagai EBT yang ramah lingkungan.

Dorongan pemanfaatan minyak sawit dan biomassa dari sawit ini juga sekaligus bertujuan untuk mengurangi impor dan memperbaiki neraca perdagangan Indonesia. Selain itu, ini juga dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada para petani dan pekerja sawit beserta keluarga yang jumlahnya mencapai 17 juta jiwa.

“Kebutuhan BBM kita 1,3 juta barel per hari dipenuhi dari kilang dalam negeri 910.000 barel per hari dan impor 370.000 barel per hari serta biodiesel 50.000 barel per hari,” katanya di sela-sela “Workshop Pemanfaatan Minyak sawit untuk Green Fuel” di Jakarta, Selasa (16/7).

Oleh karena itu lanjutnya, haras ada upaya untuk mengurangi impor BBM dengan melakukan diversifikasi BBM dengan sumber energi lain terutama bahan bakar nabati atau green fuel.

Saat ini, produksi CPO Indonesia sudah mencapai 44-46 juta ton dari lahan sawit seluas 14 juta hektare. Diprediksi, pada 2025 produksi sawit Indonesia akan mencapai 51,7 juta ton.

“Sebuah pencapaian yang membanggakan, namun di sisi lain akan mengakibatkan oversupply, apalagi pada tahun 2030 ada ancaman pelarangan produk minyak sawit di Eropa secara total,” ucapnya.

Dari sisi teknologi, BPPT sudah menguasai biodiesel B20. Saat ini, BPPT bahkan mengawal persiapan B30. Berdasarkan perhitungan Badan Litbang Kementerian ESDM, B30 akan mengurangi impor solar sebesar 8-9 juta kilo liter.

Apabila dikalikan dengan harga indeks pasar (HIP) solar sebesar Rp 8.900 per liter, maka nilai penghematan impor solar mencapai Rp 70 triliun atau US$ 6 miliar.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B Pandjaitan yang turut hadir dalam acara tersebut mengatakan, CPO sangat berkontribusi banyak kepada Indonesia setelah batu bara.

“Sawit memiliki peran sangat penting dalam perekonomian Indonesia,” kata Luhut.

Namun demikian, perkembangan perkebunan kelapa sawit harus memperhatikan aspek lingkungan agar menghasilkan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Kendalikan Defisit

Deputi Bidang Teknologi Informasi Energi dan Material BPPT, Eniya Listyani Dewi menyebut, BPPT mencoba memanfaatkan biomassa dari kelapa sawit seperti tandan kosong untuk diolah menjadi biofuel.

Proyeksi peningkatan produksi CPO perlu diantisipasi. Seiring dengan meningkatnya konsumsi BBM, diharapkan CPO ini bisa mendorong pasokan biofuel. Jangan sampai BBM yang dipakai didominasi impor. Diperkirakan produksi CPO ke depan mencapai 52 juta ton. Di sisi lain, di dunia akan ada pelarangan produk dari sawit. Jika produksi sawit Indonesia meningkat, maka bahan baku biofuel bisa dipasok 100% dari Indonesia atau green refinery stand alone.

“Di sini tentunya memerlukan jumlah CPO yang lebih besar dan dengan harga yang kompetitif yang bersaing dengan minyak bumi,” ucapnya.

Pengilangan CPO 100% untuk menyerap 10 juta ton CPO per tahun diperkirakan bisa mengurangi impor BBM 11 juta kilo liter. Ketika digabung dengan produk coprocessing dan biodiesel maka akan terjadi substitusi pengurangan impor 23 juta kilo liter per tahun. Jumlah ini akan bisa lebih mengamankan atau mengendalikan defisit neraca perdagangan luar negeri.

 

Sumber: Suara Pembaruan