JAKARTA – Merujuk laporan hasil penelitian atas kerjasama Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Lanskap Indonesia, Profund, World Agroforestry dan CIFOR, didapat 10 perbankan sebagai pemodal utama kelompok kelapa sawit di Indonesia. Kesepuluh perbankan ini ditengarai belum menerapkan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, Dan Perusahaan Publik, sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51 /POJK.03/2017.

Dari hasil laporan yang didapat InfoSAWIT tersebut mencatat, sejak 2013 lalu, saat kebijakan NDPE (Tidak melakukan deforestasi, tidak mengembangkan di lahan gambut, dan tidak melakukan eksploitasi), dimana korporasi pertama kali  yang meuluncurkan kebijakan tersebut ialah Wilmar International. Setidaknya terdapat 365 penyuling dan pedagang kelapa sawit, termasuk Musim Mas, dan perusahaan barang konsumsi, seperti Unilever dan Kraft Foods, telah menerapkan kebijakan tersebut. Melalui skema ini, mereka menuntut pemasok kelapa sawit untuk berhenti membuka hutan atau mengembangkan perkebunan di lahan gambut dan menjunjung tinggi hak-hak buruh dan masyarakat.

Sebagian besar perusahaan berencana menerapkan kebijakan NDPE tersebut di tahun 2020 setelah melalui periode transisi. Ketika pemasok melanggar kebijakan penyuling atau pedagang, pembelian dapat dihentikan. Hal ini telah beberapa kali terjadi dalam beberapa tahun terakhir, yang mengakibatkan banyak perusahaan perkebunan sawit kehilangan sejumlah besar pendapatan.

Kejadian ini tutur CEO Lanskap Indonesia, Agus P Sari, mengakibatkan munculnya risiko fnansial bagi perbankan yang memodali perushaan perkebunan kelapa sawit yang tida menerapkan praktik berkelanjuta. “ini menjadi resiko finansial, bank-bank yang belum memiliki standar berkelanjutan bakal memperolah risiko finansial dan akan mengalami kerugian,” katanya kepada InfoSAWIT, pekan lalu di Jakarta.

Seiring dengan banyaknya kilang yang menjalankan komitmen NDPE, dalam beberapa tahun perusahaan perkebunan akan terdesak untuk mengikuti komitmen tersebut agar dapat mempertahankan akses ke pasar. Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan November 2017 oleh Chain Reaction Research (CRR), 29 kelompok perusahaan yang menguasai 74% pasar penyulingan kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia telah mengadopsi kebijakan NDPE yang mengharuskan mereka untuk membeli dari pemasok yang patuh pada aturan dengan target waktu tertentu.

Selain itu, 65% kapasitas penyulingan seluruh dunia akan sepenuhnya melaksanakan kebijakan NDPE dalam beberapa tahun ke depan.Pasar untuk kelapa sawit yang tidak bekelanjutan mungkin masih ada di jangka pendek, tetapi hanya dengan sedikit pembeli yang bersedia mengambil risiko – di pasar domestik Indonesia, Cina, India, dan Pakistan – serta biaya angkutan yang meningkat dan harga yang semakin rendah. Di tahun-tahun mendatang, jumlah kilang yang menerapkan kebijakan NDPE kemungkinan besar akan semakin meningkat.

Sementara di dunia, investor institusional seperti dana pensiun, perusahaan asuransi, dan pengelola aset mulai memberlakukan kebijakan investasi yang bertanggung jawab secara sosial (SRI). Kebijakan tersebut menetapkan prasyarat sosial dan lingkungan serta prasyarat keberlanjutan lainnya untuk investasi mereka. Para investor ini juga bekerja sama dalam Prinsip-prinsip Investasi Bertanggung jawab (PRI), yang saat ini memiliki “lebih dari 1.750 penandatangan dari lebih 50 negara, yang mewakili sekitar US$ 70 triliun.”Investasi ini mewakili bagian yang sangat signifikan dari pasar investasi global – menurut PwC, total aset yang mereka kelola pada tahun 2015 adalah US$ 78,5 triliun.

Pemodal yang saat ini belum menerapkan standar berkelanjutan diantaranya (dilihat dari jumlah  pinjaman dan penerbitan underwriting), sepanjangn 2009-2017, pertama, Maybank dengan mengucurkan pinjaman lebih dari US$ 3,5 miliar.

Kedua, CIMB dengan mengucurkan modal ke kelompok kelapa sawit lebih dari US$ US$ 2,9 miliar, lantas ketiga, RHB sekitar US$ 2,9 miliar, keempat, OCBC dengan total sekitar lebih dari US$ 2,5 miliar.

Kelima, HSBC dengan pendanaan lebih dari US$ 2 miliar, keenam, diduduki Mitsubishi UFJ dengan mengucurkan modal sebanyak lebih dari US$ 1,4 miliar, ketujuh, Standard Chartered sekitar US$ 1,3 miliar, kedelapan, Mizuho Financial sekitar US$ 1,3 miliar, kesembilan, DBS dengan pendanaan lebih dari 1,2 miliar, lantas kesepuluh Bank Mandiri sesekitar US$ 1,2 miliar dan kesebelas ada Credit Suisse dengan pengucuran modal sekitar US$ 900 juta.  (T2)

 

Sumber: Infosawit.com