RMco.id  Rakyat Merdeka – Sebanyak 16 asosiasi yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan agar Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) yang dihasilkan dari pembakaran batubara di fasilitas PLTU, boiler, dan tungku industri dikeluarkan dari daftar limbah B3 yang tercantum dalam PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

“Ke-16 asosiasi yang tergabung dalam Apindo tersebut sepakat untuk mengusulkan delisting FABA, karena berdasarkan hasil uji-uji nya pun menyatakan bahwa FABA bukan merupakan limbah B3,” ujar Ketua Umum Apindo Haryadi B. Sukamdani seperti ditulis Kamis (18/6).

Ke-16 asosiasi tersebut adalah Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo), Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), Indonesian Mining Association (IMA), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Kimia Dasar Anorganik Indonesia (Akida), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin), Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (Apki).

Kemudian, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Industri Olefin, Aromatik & Plastik Indonesia (Inaplas), Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (Aimmi), Asosiasi Produsen Serat Benang dan Filament Indonesia (APSyFI) dan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni).

Untuk diketahui, FABA yang dihasilkan berkisar antara 10-15 juta ton per tahun dikategorikan sebagai limbah B3. Hal itu tercantum di Tabel 4 Lampiran IPP No. 101 Tahun 2014.

Direktur Eksekutif, APKI Liana Bratasida mengatakan, rate kegiatan pemanfaatan FABA di Indonesia masih tergolong sangat kecil, yaitu hanya 0– 0,96 persen untuk pemanfaatan fly ash dan 0,05–1,98 persen untuk pemanfaatan bottom ash.

Padahal, Pemerintah sering menggaungkan bahwa kegiatan pengelolaan limbah melalui kegiatan pemanfaatan memiliki hierarki yang lebih tinggi dari pada kegiatan pemusnahan dan pengolahan, serta penimbunan.

Menurut dia, beberapa negara tersebut di atas, FABA juga telah dimanfaatkan sebagai material konstruksi seperti untuk campuran semen dalam pembangunan jalan, jembatan, dan timbunan, reklamasi bekas tambang, serta untuk sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.

“Bahkan, rate pemanfaatan FABA di negara-negara itu sudah cukup tinggi, berkisar antara 44,8– 86 persen,” ujar Liana.

Untuk diketahui, KLHK telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2020 tentang Tata Cara Uji Karakteristik dan Penetapan Status Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan telah diundangkan 4 Mei 2020.

Pengusaha menyayangkan aturan itu disusun tanpa melibatkan pelaku industri, sehingga Permen tersebut sulit untuk diimplementasikan di lapangan. “Harapan kami adalah sisa pembakaran batubara berupa Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dapat dikeluarkan (delisting) dari daftar limbah B3 di Tabel 4 Lampiran I PP No. 101 Tahun 2014,” ujar Liana. [DIT]

 

Sumber: Rmco.id