Kalangan pekerja dan petani sawit terancam kebijakan Uni Eropa yang akan melarang penggunaan sawit sebagai bahan baku biofuel. 

Oleh karena itu, Uni Eropa harus mempertimbangkan keputusannya karena berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi di Indonesia.

“Kami mengutuk tindakan EU (Europe Union/Uni Eropa) yang berencana menghentikan pembelian sawit dari Indonesia. Seharusnya Eropa tidak hanya melihat deforestasi, tetapi pikirkan juga manusianya,” kata Sekretaris Eksekutif Jejaring Serikat Pekerja/ Serikat Buruh sawit Indonesia (Japbusi) Nursanna Marpaung di Jakarta kemarin.

Nursanna mengatakan kebijakan Eropa akan berdampak pada keberlangsungan industri sawit, terkait perlindungan sawit secara menyeluruh. Industri sawit di Indonesia berkontribusi bagi penyerapan tenaga kerja.

Sebagai gambaran, jumlah pekerja di perkebunan rakyat, swasta, dan negara sebanyak 3,78 juta orang dan terdapat 2,2 juta petani. Jadi, total pekerja yang terlibat dalam rantai pasok sawit mencapai 16,2 juta jiwa.

“Oleh karena itu, kami mendukung upaya pemerintah dalam rangka melawan diskriminasi sawit di Eropa. Pemerintah harus bersikap tegas karena ini menyangkut nasib para pekerja yang menggantungkan hidupnya dari sawit. Anggota kami di Japbusi hingga 2 juta orang yang bekerja di sawit,” kata Nursanna.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Sumarjono Saragih mengatakan bahwa sejak 2016 industri kerap mendapatkan tuduhan negatif atas para tenaga kerjanya.

Dia mengindikasikan ada enam tuduhan yang kerap dialamatkan, yaitu status ketenagakerjaan, dialog sosial antara perusahaan dan pekerja, keselamatan dan kesehatan kerja, mempekerjakan anak, upah yang minim, dan lemahnya pengawasan pemerintah.

“Diserang dengan isu lingkungan saja, kita sudah kewalahan. Ditambah lagi isu anak dan pekerja. Kalau ini terus dipersoalkan, tidak terbayang dampaknya,” katanya.

Namun, Sumarjono menyayangkan sikap pemerintah yang kerap apatis terhadap tuduhan negatif ketenagakerjaan dalam industri andalan nasional tersebut.

Menurutnya, sering kali pemerintah mengabaikan isu krusial ini. Dia menyebutkan isu tenaga kerja tidak akan selesai dengan sendirinya dan itu akan menjadi senjata lain untuk menyerang minyaksawitoleh pihak asing.

“Pemerintah belum melihat tenaga kerja sebagai sesuatu yang diperhatikan serius. Hal itu terlihat pada saat moratorium tidak melibatkan Kementerian Tenaga Kerja dan fokus pada evaluasi perizinan dan peningkatan produktivitas,” katanya.

Dari sisi bisnis, lanjutnya, kalau isu negatif tidak bisa diselesaikan maka akan membuat iklim investasi ikut meredup. Sementara pada saat yang bersamaan, upah kerja terus meningkat 8% per tahun.

Dengan begitu, Sumarjono menyimpulkan industrisawittengah dalam bahaya. Pasalnya, biaya operasional untuk upah pekerja terus naik, tapi hargasawitfluktuatif dan produktivitas kebun cenderung stagnan.

Irham Ali Saifudin, Country Office The International Labour Organisation (ILO) Indonesia dan Timor Leste, mengakui dalam jangka pendek serta jangka panjang akan berdampak kepada pekerja yang mencapai 16 juta pekerja.

Ini berpengaruh karena Eropa termasuk pembeli utama. Oleh karena itu, dia menyarankan perlu dibuat formulasi strategi yang baik untuk memperkuat aspek positif informasi sawit. Selain itu, perlu juga industri menunjukkan iktikad baik dalam rangka memperbaiki tata kelola perkebunan.

Sumber: Okezone.com