JAKARTA-Pemerintah tampak semakin serius dalam memacu peremajaan komoditas perkebunan dengan memperbesar alokasi pengadaan bibit pada RAPBN 2018 menjadi 40 juta batang, dari 35,5 juta batang pada APBN Perubahan 2017.

Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian memperoleh alokasi Rp675 miliar pada APBNP 2017, yang sebagian besar dialokasikan untuk pengadaan bibit. Adapun, pada RAPBN 2018 Kementan memperoleh alokasi Rp 1,63 triliun, yang sekitar 60%-70% dialokasikan untuk pengadaan bibit komoditas perkebunan yakni sekitar 40 juta batang.

Direktur Perbenihan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian Muhammad Anas menyampaikan dari rencana pengadaan bibit sekitar 40 juta batang tersebut didominasi kopi 10 juta batang, diikuti kakao 5 juta batang, dan sisanya tanaman rempah.

“Lebih dari 40 juta batang disiapkan untuk mengembalikan kejayaan rempah dan komoditi strategis lainnya seperti kopi dan kakao. Ini di luar tebu,” kata dia, Rabu (18/10).

Dirjen Perkebunan Kementan Bambang mengatakan komoditas perkebunan didominasi perkebunan rakyat. Perkebunan sawit 11,9 juta hektare (ha) ditopang oleh perkebunan rakyat 4,7 juta ha. Begitu pula, perkebunan kakao 1,7 juta ha dan kopi 1,3 juta ha, di mana 95% ditopang oleh perkebunan rakyat.

Perkebunan rakyat memiliki persoalan sama yakni produktivitas rendah sehingga tidak dapat memenuhi bahan baku industri.

Oleh karena itu, lanjut dia, pemerintah mempercepat peremajaan tanaman perkebunan melalui penyiapan benih yang lebih besar melalui APBNP 2017. Hal serupa akan dilanjutkan pada kegiatan 2018.

“Pengembangan komoditas perkebunan tidak dapat mengandalkan anggaran pusat, sehingga diharapkan pemerintah daerah dapat memperkuat pengembangan komoditas perkebunan di wilayahnya menggunakan dana desa. Swasta juga didorong terlibat,” imbuhnya dalam konferensi pers penyelenggaraan World Plantation Conferences and Exhibition, Rabu (18/10).

RISET

Di sela acara yang sama, pelaku usaha menilai pemerintah perlu lebih terlibat dalam pengembangan riset terhadap komoditas yang didominasi perkebunan rakyat seperti karet dan kakao.

Penilaian tersebut muncul setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla mendorong stakeholders sektor perkebunan untuk memaksimalkan potensi riset dan teknologi demi menghadapi sejumlah tantangan dewasa ini.

Dia juga menyarankan agar pelaku usaha perkebunan seperti di sektor gula dan kelapa sawit untuk melakukan joint research demi meningkatkan produktivitas tanaman secara efisien

“Riset-riset perkebunan itu bisa digabung. Tidak perlu banyak anggaran pemerintah. Seperti dulu, riset Pasuruan itu dikumpul dari pabrik-pabrik gula,” kata JK.

Direktur Research and Development PT Sampoerna Agro Tbk. Dwi Asmono menyampaikan inisiatif serupa telah dibangun para pelaku usaha di komoditas sawit melalui pembentukan konsorsium plasma nutfah dan konsorsium riset genome.

Konsorsium plasma nutfah yang dibentuk pada 2003 beranggotakan 18 perusahaan dari Indonesia, melakukan pengayaan plasma nutfah dari Kamerun, Angola, dan Amerika Selatan. Adapun, konsorsium genome diinisiasi pada 1998 beranggotakan 7 perusahaan dari Indonesia, serta beberapa pusat riset dari Spanyol, Prancis, hingga Colombia.

“Inisiatif itu telah dibangun para pengusaha sawit, tapi PR [pekerjaan rumah]-nya adalah di komoditas yang pelibatan company-nya tidak besar, seperti karet dan kakao, karena keduanya didominasi perkebunan rakyat. Yang seperti itu perlu diharapkan dukungan aktif pemerintah,” kata Dwi.

Dwi yang merupakan pemulia tanaman dan genetika lulusan Iowa State University USA meyakini pengembangan riset sawit semakin maksimal jika didukung oleh pemerintah. Dukungan ini dapat diberikan melalui pelibatan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit (BPDP KS).

Menurutnya, riset menjadi pencari jawaban soal belum maksimalnya produktivitas sawit dalam negeri dari potensi produktivitas 35 ton per ha tandan buah segar, dengan rendemen minyak 26%.

“Sekarang kondisinya masiri di bawah itu. Penggunaan teknologi maju juga belum dilakukan secara terintegrasi. Namun, secara parsial sudah,” imbuh dia.

(irene agustine)/ Azizah Nur Alfi

 

Sumber: Bisnis Indonesia