Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) menilai Provinsi Aceh layak sebagai jalur alternatif baru ekspor minyak sawit ke pasar Asia Selatan, khususnya India dan Pakistan. Alasannya, secara geografis wilayah Aceh paling berdekatan dengan India dan Pakistan ketimbang wilayah lainnya di Indonesia, India dan Pakistan merupakan tujuan utama ekspor sawit nasional, dan perkembangan industri sawit di Aceh berjalan dengan baik.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menuturkan, Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang letaknya strategis bagi alternatif baru jalur ekspor minyak kelapa sawit Indonesia. Secara geografis, Aceh berdekatan dengan India dan Pakistan, kedua negara itu juga masuk dalam negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia. “Dengan pengembangan infrastruktur, pelabuhan, listrik, gas, dan kapasitas produksi kelapa sawit yang besar, kami optimistis Aceh bisa memproduksi industri hilir kelapa sawit sekaligus menjadi jalur (alternatif) baru ekspor Indonesia ke India dan Pakistan,” ungkap Joko Supriyono dalam keterangannya, kemarin.
Berdasarkan data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2018, volume ekspor minyak sawit Indonesia ke India mencapai 6,70 juta ton. Angka tersebut secara global menjadikan India sebagai negara tujuan ekspor minyak sawit terbesar bagi Indonesia. Sementara itu, ekspor ke Pakistan pada 2018 juga telah mencapai 2,50 juta ton, jumlah ekspor ke Pakistan akan terus ditingkatkan karena sudah dilakukan kesepakatan dagang antara Indonesia-Pakistan.
Saat kuliah umum tentang Akselerasi Inovasi dan Pengembangan Industri Kelapa sawit Indonesia di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, Joko optimistis pengembangan industri kelapa sawit di Provinsi Aceh akan berkembang pesat karena letaknya yang strategis bagi alternatif baru jalur ekspor komoditas tersebut. “Aceh bisa menjadi jalur ekspor minyak sawit Indonesia terbesar dan ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin,” ujar dia.
Dalam kesempatan tersebut, Joko Supriyono juga menekankan pentingnya peran Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia dan sawit diyakini menjadi alternatif paling sustainable untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati masyarakat dunia. Hal ini mengingat produktivitas minyak kelapa sawit paling tinggi dari minyak nabati lainnya.
Berdasarkan data International Union For Conversation Nature, untuk menghasilkan 1 ton minyak nabati diperlukan 1,25 hektare (ha) lahan rapeseed, 2 ha lahan kedelai, 1,42 lahan bunga matahari, sedangkan minyak sawit hanya butuh 0,26 ha. Artinya, apabila produksi sawit stagnan yang terjadi adalah dunia akan melakukan deforestasi yang jauh lebih besar untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan ekspansi perkebunan kedelai maupun rapesed. “Karena itu, jika kebutuhan dunia terus bertambah, Indonesia siap meningkatkan kuantitas dan kualitas sawitnya,” kata dia. Joko Supriyono juga menuturkan, Gapki tetap mendorong pemerintah untuk terus melobi Uni Eropa (UE) karena UE hingga kini masih menentang sawit Indonesia. Gapki sangat berharap pada tahun depan kesepakatan dagang antara Indonesia dan UE bisa direalisasikan dan dipercepat implementasinya sehingga sawit Indonesia bisa masuk ke kawasan negara tersebut. “Kami masih berharap pemerintah bisa mempercepat negosiasi perjanjian dagang dengan UE (IEU-CEPA) dan jika butuh bantuan maka Gapki siap membantu,” ujar Joko.
Sawit Berkelanjutan
Sementara itu, upaya Indonesia dalam mencapai pengelolaan sawit berkelanjutan dalam rangka penurunan emisi karbon dari sektor lahan mendapat apresiasi dari Pemerintah Inggris. Hal itu disampaikan Calon Presiden UNFCCC COP-26 Claire O\’Neill Perry dalam pertemuan bilateral dengan Wakil Menteri LHK RI Alue Dohong pada Jumat (6/12) di Madrid, di sela-sela Konferensi Perubahan Iklim. Inggris akan menjadi tuan rumah COP-26 yang digelar di Glasgow pada 9-19 November 2020 yang akan bermitra dengan Italia.
O\’Neill menuturkan, Inggris menyatakan dukungannya atas upaya Indonesia dalam pencapaian National Determined Contribution (NDC). “Atas nama Pemerintah Inggris sangat mengapresiasi upaya Indonesia dalam merestorasi dan merehabilitasi gambut serta upaya untuk mencapai pengelolaan sawit berkelanjutan dalam rangka penurunan emisi dari sektor lahan,” kata O\’Neill. Sebagai Presiden COP-26, Inggris akan menggelar acara Pre-COP dan mengundang negara-negara yang memiliki ambisi besar dalam menurunkan emisi, termasuk Indonesia.
Wamen LHK RI menyatakan Indonesia bersedia hadir di Pre-COP tersebut sekaligus untuk menunjukkan capaian Indonesia dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Terkait upaya penurunan emisi di sektor lahan dan energi, Inggris menawarkan bantuan teknis dan finansial ke Indonesia untuk merestorasi gambut dan melakukan transisi energi dari penggunaan batubara ke energi baru dan terbarukan. Wamen LHK menyambut baik tawaran Pemerintah Inggris itu dan akan menggunakan kesempatan kolaboratif tersebut untuk meningkatkan capaian NDC.
Alue Dohong menuturkan, Indonesia yang memiliki lahan gambut tropis terbesar di dunia sangat berkepentingan dengan kelestarian pengelolaannya dan gambut menjadi faktor penting dalam upaya pencapaian NDC serta peningkatan NDC Indonesia. Dohong menyatakan keyakinannya bahwa negara-negara berkembang akan dapat mencapai NDC-nya, terutama jika mendapatkan bantuan dari negara-negara maju. Saat ini, bahkan telah dibentuk International Tropical Peatland Center (ITPC) di Indonesia sebagai bagian dari kerja sama Selatan-Selatan. Untuk itu, Indonesia mengundang Inggris untuk dapat berpartisipasi dalam mendukung keberadaan ITPC tersebut.
Inggris sendiri menyambut baik tawaran Indonesia karena memang akan membantu Indonesia dalam upaya penyelamatan gambut. Indonesia juga menyatakan bahwa telah diini-siasi pembentukan Pusat Mangrove Dunia di Indonesia sebagai upaya untuk meningkatkan penurunan emisi dari lahan. Pemerintah Inggris juga menyambut baik usulan Indonesia untuk menjadikan COP-26 sebagai ajang untuk membahas lebih lanjut isu Blue Carbon mengingat COP-25 saat ini dinyatakan sebagai Blue COP oleh Pemerintah Chile sebagai presiden.
Sumber: Investor Daily Indonesia