Banyak industri hilir minyak nabati mangkrak dan sebagian gulung tikar sejak awal tahun ini lantaran problem bahan baku dan masalah daya saing produk setelah pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dinolkan sejak akhir 2018. Butuh solusi agar mereka bergairah lagi.

Ketua Umum Cabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyatakan bahwa para pengusaha industri hilir minyak nabati yang tadinya gencar mengekspor produknya kini hanya beroperasi untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Salah satu produk industri hilir yang dominan adalah minyak goreng. Produksinya tahun ini diproyeksikan naik 6% dibandingkan dengan tahun lalu 4,1 juta ton menjadi 4,3 juta ton.

Secara komposisi, minyak goreng curah atau minyak goreng yang biasa dijual di pasar tradisional mencapai 3,6 juta ton (87,8%), sedangkan minyak kemasan yang biasa dijual di supermarket 500.000 ton (12,19%). Berhentinya pengapalan ke pasar global itu disebabkan oleh harga produk Indonesia tidak lagi kompetitif setelah tarif ekspor minyak sawit mentah dinolkan. “Kami harapkan pada Mei nanti ada perubahan, pungutan itu kembali lagi ke semula,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (2/4).

Minyak nabati mentah masih didominasi CPO. Asosiasi memproyeksikan produksi minyak sawit tahun ini bertumbuh 12% dibandingkan dengan tahun lalu 47,4 juta ton menjadi 50,4 juta ton, seiring dengan peningkatan produktifitas tanaman lama, dan mulai berbuahnya tanaman baru.

Namun, industri hilir masih akan sulit menaikkan produksinya. Ini lantaran ada peningkatan konsumsi sawit untuk campuran bahan bakar kendaraan bermotor, mesin industri, hingga pembangkit listrik tenaga diesel.

Terlebih, peningkatan konsumsi sawit di pasar domestik itu tidak didahului dengan peremajaan tanaman. Oleh karena itu, replanting kebun harus segera dilaksanakan sesuai Inpres nomor 8/2018 agar industri hilir minyak nabati dapat tumbuh kembali.

Menurut Sahat, industri hilir minyak nabati bertumbuh signifikan sejak 2011 hingga akhir 2018, setelah pemerintah merilis bauran kebijakan untuk mendorong investasi di sektor industri ini. Kapasitas terpasang pabrik pada 2011 yang hanya 25 juta ton melejit menjadi 55 juta ton pada 2018.

Berkat investasi tahun sebelumnya di Sumatra Utara dan Jambi, kapasitas terpasang industri hilir minyak nabati akan bertambah 2 juta ton menjadi 57 juta ton. Adapun, konsumsi diproyeksi naik dari 50% terhadap produksi minyak nabati menjadi 75%.

Namun, asosiasi belum melihat akan ada investasi ke industri hilir pada tahun ini. “Karena sistem levy (retribusi] pemerintah belum memberi dukungan industri hilir,” jelasnya.

Sahat membandingkan sistem levy nasional dengan negeri jiran. Menurutnya, ekspor CPO dari negeri jiran dikenai pungutan dan produk hilirnya bebas pungutan ekspor. Alhasil, pengusaha Indonesia lebih memilih mengekspor minyak sawit mentah ketimbang mengolahnya terlebih dulu.

Selain bernilai tambah, hilirisasi industri perlu didorong mengingat tidak semua negara tujuan ekspor minyak nabati mentah memiliki kilang pengolahan. Apalagi, industri hilir nasional dinilai lebih unggul dari sisi teknologi ketimbang negeri jiran. “Kemauan pemerintah mendorong hilirisasi industri ini masih kurang.”

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 152/2018, ekspor CPO dengan harga di bawah US$570 tidak lagi dikenai pungutan ekspor. Adapun CPO seharga US$570-US$619 dikenai pungutan US$25 per ton, dan CPO dengan harga di atas US$619 dikenai pungutan US$50 per ton.

EVALUASI KEBIJAKAN

Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kementerian Perindustrian Enny Ratnaningtyas menyampaikan, hingga akhir Maret 2019 harga CPO masih di bawah U$57O sehingga tidak dikenai pungutan.

Alhasil, minyak sawit banyak diekspor sehingga industri pengolahan kekurangan bahan baku. “Sebab itu, perlu evaluasi kembali PMK tersebut dengan memperhatikan supply dan demand CPO di dalam negeri untuk menunjang hilirisasi industri pengolahan sawit,” ujarnya kepada Bisnis.

Kemenperin akan kembali mengundang pelaku industri dan memeriksa kenaikan harga ekspor CPO selama 3 bulan pertama 2019, dan hubungannya dengan pasok bahan baku industri hilirnya.

Pemerintah juga mendorong penumbuhan industri minyak kelapa di beberapa wilayah penghasil kelapa, melalui bimbingan teknis dan dukungan mesin dan peralatan pengolahan.

Sahat berpendapat peningkatan produksi minyak kelapa akan membantu mengisi kekurangan pasok minyak nabati di industri hilir mengingat kebanyakan minyak sawit akan diarahkan untuk sumber energi.

Namun, pemerintah juga perlu mendorong peremajaan pohon kelapa. “Di Manado [misalnya] itu ada nilai-nilai budaya yang hilang. Dulu kalau ada anaknya lahir, dia tanam kelapa. Sekarang sudah ndak ada lagi. Jadi, sekarang itu kelapa-kelapa tua saja, tidak ada regenerasi kelapa itu,” tuturnya.

Peremajaan atau regenerasi adalah hal mutlak yang harus dilakukan. Sebab, generasi lama akan segera mati, termasuk tanaman dan industri.

Sumber: Bisnis Indonesia