Jelang keputusan Parlemen Uni Eropa terkait dengan skema RED II dan ILUC, minyak kelapa sawit Indonesia justru menuai sentimen positif dari sisi harga sebagai dampak dari perang dagang antara China dan Amerika Serikat.

Adapun, penentuan penerapan skema renewable energy directive (RED) 11 dan indirect land use change (ILUC) oleh Uni Eropa (UE) dijadwalkan keluar pada hari ini, Rabu (15/5).

Apabila kebijakan ini resmi diterapkan, hampir dapat dipastikan ini akan menjadi sentimen negatif bagi ekspor dan harga CPO, sehingga akhirnya akan berdampak kepada kinerja dagang RI.

Bagaimanapun, kinerja ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya mendapat secercah harapan dari potensi kenaikan permintaan dari China, di tengah situasi perang dagang melawan Amerika Serikat (AS).

Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, perang dagang antara AS dan China akan menjadi peluang bagi RI untuk mengalihkan ekspor CPO dan produk turunannya apabila resmi dihambat oleh UE.

Pasalnya, Negeri Panda saat ini sedang berusaha mengalihkan konsumsi energinya dari berbasis fosil menjadi berbasis produk nabati yang lebih damah lingkungan.

Di sisi lain, selama ini China menggunakan minyak kedelai sebagai salah satu bahan bakar terbarukan.

Namun, dengan kebijakan Beijing yang akan meningkatkan bea masuk produk kedelai asal AS, maka dipastikan akan membuat CPO dilirik sebagai produk substitusi minyak kedelai.

\’Tentu kondisi yang ada saat ini, terakit dengan perang dagang, harus dimanfaatkan oleh Indonesia [untuk memacu ekspor CPO]. Kita sejauh ini sudah “ada perjanjian pembelian biodiesel dan CPO oleh China. Tinggal kita tingkatkan kerja sama dan volumenya, karena potensi konsumsi negara ini besar sekali,” katanya, Selasa (14/5). Dorongan dari potensi kenaikan permintaan China terhadap produk CPO, menurutnya, mulai tampak dari pergerakan harga CPO dalam 2 hari terakhir yang berangsur-angsur menguat.

Hal itu menandakan adanya potensi peralihan konsumsi China dari minyak kedelai ke minyak nabati lain seperti CPO.

Berdasarkan data Bursa Malaysia Berhad, harga CPO kontrak pengiriman Juli 2019 menguat 28,00 poin ke posisi 1.985 ringgit per ton dari hari sebelumnya.

Meskipun demikian, harga CPO tersbeut masih berada pada level yang mendekati posisi terendahnya dalam 2 tahun terakhir.

JANGAN TERGANTUNG

Bagaimanapun, di tengah adanya titik cerah kinerja ekspor CPO itu, Heri menyarankan agar pelaku usaha dan pemerintah tidak hanya mengandalkan China sebagai satu-satunya tumpuan ekspor CPO apabila UE menerapkanRED IIdan ILUC.

Menurutnya, ekspor CPO dan produk turunannya harus dialihkan dan digenjot juga ke negara-negara lain.

“Kalau untuk negara maju selain UE, bisa kita arahkan untuk ekspor produk CPO berbasis energi seperi biofuel. Sementara itu, [untuk ke] negara berkembang atau pasar baru terutama negara berkembang di Afrika dan Amerika Latin, bisa kita arahkan untuk produk campuran makanan dan farmasi,” jelasnya. Ketua Bidang Perdagangan dan Promosi Gabungan Pengusaha Kelapa sawit (Gapki) Master P. Tumanggor mengatakan pelaku usaha berharap menurunnya permintaan China terhadap kedelai AS akan membuat negara tersebut mengalihkan sumber energi hijaunya ke CPO.

Dia melihat saat ini negara tersebut sedang berancang-ancang untuk menjadikan CPO sebagai komoditas substitusi minyak kedelai.

“Namun, semua itu belum pasti. Saat ini, kendati ada isu CPO sebagai substitusi minyak kedelai oleh China, kenaikan harga CPO global dalam beberapa hari terakhir tetap tidak terlalu signifikan,” ujarnya.

Dia pun menilai peralihan ekspor CPO Indonesia menuju China dari UE belum tentu akan membantu menyangga kinerja ekspor CPO secara keseluruhan.

Menurutnya, peningkatan konsumsi dalam negeri menjadi salah satu cara jitu untuk menjaga agar harga CPO meningkat.

Dengan demikian, dia berharap percepatan pemberlakuan biodiesel B30akan membantu mengangkat harga komoditas itu.

Ketua Umum Dewan MinyaksawitIndonesia (DMSI) Derom Bangun mengaku belum terlalu yakin rencana China menaikkan bea masuk dan membatasi impor kedelai dan produk turunannya akan berdampak kepada kenaikan permintaan CPO oleh negara itu.

Dia menduga, saat ini China masih akan berusaha mengalihkan permintaan kedelai dan produk turunannya dari Argentina dan Brasil.

“Kami lihat selama 1-2 pekan ke depan. Kalau sekiranya impor kedelai [China] dari Argentina dan Brasil tidak sesuai dengan kebutuhan China, mereka pasti akan mengalihkannya ke CPO. Sejauh ini, kemungkinan itu masih sangat kecil sehingga harga CPO global masih sangat rendah,” ujarnya.

Derom melanjutkan, saat ini pelaku usaha dan pemerintah masih terus berkoordinasi sembari menantikan hasil jajak pendapat Parlemen UE terkait denganRED IIdan ILUC yang dijadwalkan diketok pada 15 Mei 2019.

Para pelaku usaha, menurutnya, telah mengumpulkan data-data penunjang untuk melawan langkah diskriminatif Benua Biru apabila dibutuhkan oleh pemerintah.

“Koordinasi kami dengan pemerintah sudah sangat kuat. Apapun dukungan yang pemerintah butuhkan kami akan siapkan. Kafni masih berpegang pada sikap awal, bahwa ketikaRED IIdan ILUC dijalankan, tuntutan melalui Organisasi Perdagangan Dunia [World Trade Organization/WTO] menjadi satu-satunya jalan,” katanya.

Sementara itu, Master P. Tumanggor mengatakan, saat ini pemerintah dan pelaku usaha yang sedang dalam proses pemilihan dan seleksi terhadap pengacara yang akan ditunjuk mendamping Indonesia di WTO.

Pemilihan pengacara akan disesuaikan dengan hasil jajak pendapat dan alasan terbaru UE apabila resmi mengadopsi ILUC dan RED II.

\’Tentu saja, harapan kami UE tidak jadi menerapkan kebijakan itu. Sebab, kami sudah berkali-kali mengajukan pembelaan dan lobi-lobi ke UE untuk menjelaskan posisi CPO sebagai minyak nabati yang menaati segala ketetuan terkait dengan lingkungan hidup,” ujarnya.

Secara terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdalifah Mahmud mengatakan, saat ini pemerintah sedang bersiap menantikan hasil jajak pendapat di Parlemen Eropa.

Dia mengatakan, saat ini telah dibentuk tim kerja yang beranggotakan kementerian dan lembaga serta pengusaha CPO untuk melakukan langkah strategis lanjutan apabilaRED IIdan ILUC resmi disetujui oleh Parlemen Eropa.

“Karni sudah siapkan tim kerja yang akan langsung bekerja secara cepat begitu keputusan Parlemen Eropa muncul. Sementara itu untuk penunjukkan pengacara ketika nanti akhirnya kita maju ke WTO, masih dalam proses seleksi,” katanya.

Dia pun berharap UE tidak jadi menerapkanRED IIdan ILUC. Pasalnya, pasar Eropa cukup penting bagi CPO RI, yang merupakan komoditas ekspor utama RI.

Menurunnya, permintaan pasar Benua Biru dikhawatirkannya akan mengganggu kinerja ekspor RI pada masa depan.

Nilai ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/ CPO) dan produk turunannya diperkirakan kembali turun pada April 2019, terimbas tren tekanan harga internasional yang berkelanjutan.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Gapki Lakhsmi Kanya memproyeksi harga CPO mengalami penurunan pada April dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Hal itu berpeluang menekan kinerja ekspor CPO dan produk turunannya pada bulan yang sama.

“Memang sulit sekali meningkatkan harga CPO ini. Ada anomali tersendiri saat ini. Selain karena adanya kampanye negatif dari Uni Eropa, kami melihat ada pertumbuhan tren ketakutan dari para pembeli untuk membeli produk CPO, karena berbagai sentimen negatif yang diteriakkan beberapa pihak,” jelasnya kepada Bisnis, baru-baru ini.

Sumber: Bisnis Indonesia