Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mendukung kebijakan Kementerian Keuangan yang mengangkat Eddy Abdurrachman sebagai Direktur Utama BPDP-KS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) dinilai sangatlah tepat karena kinerja pimpinan sebelumnya selama ini patut dipertanyakan. Apalagi, Presiden Jokowi menginginkan pejabat yang kencang larinya, tidak hanya ‘ngekor’ di belakang.
“Kami tidak sependapat apabila dikatakan latar belakang (Dirut) yang baru harus dari industri sawit. Menurut saya tidak pas juga ukuran penilaian tersebut. Pimpinan itu merupakan manajer lembaga, dimana perangkatnya multi displin keahlian. Jadi, Dirut ini ibarat dirigen. Sebagai contoh, Presiden Jokowi yang Sarjana Kehutanan ternyata mampu dan kompeten menjadi presiden selama dua periode lagi,” kata Gulat penuh optimis.
Ia mengatakan APKASINDO berharap banyak kepada Pak Eddy Abdurrachman supaya memperbaiki kinerja BPDPKS yang selama ini terkesan tidak terarah dan adan konflik internal. Oleh karena itu, konsep dana sawit untuk sawit harus menjadi ‘roh’ BPDPKS.
Itu sebabnya, kata Gulat, elemen utama sawit korporasi dan petani harus berimbang serta menjadi fokus BPDP-KS. Karena selama ina, ada kesan petani menjadi pelengkap penderita semata.
Sebagaimana diketahui dalam website BPDPKS terdapat tiga rencana strategisnya, pertama, stabilisasi harga CPO dengan penerapan B20 secara penuh dan percepatan B30.
Kedua, perbaikan kesejahteraan petani. Dan ketiga, investasi industri hilir melalui konservasi sawit menjadi bio hidrokarbon fuel.
Yang menjadi perhatian adalah rencana strategis terkait petani sawit yang belum menjadi fokus utama. Semisal pemanfaatan dana pungutan ekspor CPO yang ditujukan bagi sarana dan prasarana (sarpras) seperti pupuk, bibit sawit, alat mesin pertanian, jalan produksi. “Sudah tak terhitung jumlah kegiatan FGD sarana prasarana yang diadakan oleh BPDPKS, tetapi tidak ada actionnya.”
Sejak berdirinya BPDP-KS, dana sarpras minim realisasi padahal setiap tahun alokasi mencapai Rp 200 miliar. Gulat menjelaskan bahwa petani sawit sangat membutuhkan sarpras ini, khususnya saat harga TBS terpuruk. Dana Sarpras ini sangat strategis membantu petani sawit keluar dari zona keterpurukan harga TBS.
“Jika elemen sarpras ini bisa dilaksanakan maka petani kuat. Dana sarpras dapat digunakan membangun pabrik sawit mini untuk kebun sawit petani yang jauh dari pabrik sawit. Apalagi jika pabrik sawit petani ini diintegrasikan dengan Pertamina sebagai pendukung bahan baku biodiesel, akan sangat baiklah BPDPKS in,” ujarnya.
“Sudah ada Anggota Apkasindo yang berhasil memproduksi minyak goreng, tinggal memoles saja supaya lebih baik hasilnya, tentu dengan sentuhan teknologi yang membutuhkan biaya, ” ujarnya.
Konsep Replanting (PSR) bisa juga didukung melalui Sarpras ini, yaitu melalui bantuan bibit siap tanam jadi petani menanam sendiri khususnya petani yang berada di desa-desa tertinggal. Ini akan mempercepat peningkatan produktivitas tanaman sawit petani.
Demikian juga SDM Petani, hampir 3 tahun ini praktis tidak ada lagi bantuan pelatihan SDM Petani. “Semua Proposal petani ditolak dengan berbagai alasan. Sialnya lagi jika petani mengajukan kegiatan ataupun bantuan sarpras ke pemda, selalu dijawab bahwa khusus sawit sudah diurus oleh BPDPKS.”
Gulat menjelaskan asosiasi berharap kepada Dirut Baru supaya memperhatikan sisi pentingnya petani dalam industri sawit Indonesia. Perlu dicatat dari hasil kajian APKASINDO bahwa setiap pungutan ekspor US$50 USD/ton CPO akan mengurangi secara tidak langsung rata-rata Rp 92/Kg dari Harga TBS yang diterima Petani, dimana dana ini dikelola oleh BPDPKS. Oleh karena itulah, wajar saja petani berharap banyak ke BPDPKS.
“Pemahaman ini yang harus dicerna dan dipahami oleh seluruh unsur di BPDPKS, bukan seperti selama ini, petani sawit itu seperti pengemis jika mengajukan kegiatan kepada BPDPKS. Yang pasti petani akan tetap menuntut hak kami, dan sebaliknya akan menunaikan kewajiban sebagai petani sawit Indonesia,” pungkasnya.
Sumber: Sawitindonesia.com