JAKARTA – Departemen Perdagangan Amerika Serikat (AS) akan menerbitkan keputusan kenaikan tarif bea masuk impor biodiesel pada November mendatang.

Putusan ini dapat diperpanjang dan berubah kembali sesuai dengan besaran bea masuk antisubsidi. Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), MP Tumanggor, mengatakan kenaikan tarif impor biodiesel di Amerika Serikat itu berpotensi menekan ekspor Indonesia. “Penerapan bea masuk akan memberatkan produsen atau eksportir biodiesel Indonesia.

Kebijakan pemerintah AS itu pada gilirannya akan mengurangi keuntungan sehingga lambat laun ekspor biodiesel ke AS akan berhenti,” kata Tumanggor, kemarin.

Sementara ini, AS mengenakan tarif bea masuk antisubsidi biodiesel produk Wilmar International Ltd dikenakan sebesar 41,06 persen, PT Musim Mas mencapai 68,28 persen, dan perusahaan lain yang mengekspor ke AS sebesar 44,92 persen.

Sementara itu, untuk perusahaan Argentina, AS mengenakan bea masuk antisubsidi dikenakan kepada LDC Argentina SA sebesar 50,29 persen, Vicentin SAIC mencapai 64,17 persen, dan lainnya dari Argentina sebesar 57,01 persen.

Selain AS, ekspor biodiesel Indonesia juga terganjal di Uni Eropa. Bahkan, Uni Eropa sejak 2013 telah memberlakukan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap biodiesel dari Indonesia. Nilai BMAD yang ditetapkan cukup besar, yaitu 8,8 persen hingga 23,3 persen atau 76,94 euro sampai 178,85 euro per ton.

Isu Lingkungan

Menanggapi pembatasan ekspor biodiesel ke AS dan Uni Eropa, anggota Pokjasus Dewan Ketahanan Pangan (DKP), Ahmad Yakub, mengatakan produk sawit dan turunannya telah menjadi isu lingkungan yang sensitif di negara-negara maju.

“Ini terjadi karena pengelolan perkebunan dan pengolahan sawit selalu bertentangan dengan standar lingkungan yang berkelanjutan. Bahkan, negara maju semakin menolak produk sawit manakala Indonesia selalu mengulangi kesalahan yang sama, seperti kebakaran hutan, pembiaran lahan gambut menjadi perkebunan, atau pengabaian satwa yang dilindungi,” kata Yakub.

Menurut Yakub, saat ini adalah momentum bagi pemerintah untuk segera menindak tegas pengembangan kebun sawit yang sudah melampaui batas daya dukung lingkungan. Kebakaran lahan gambut setiap tahun harus benar-benar berhenti.

Isu deforestasi mesti menjadi perhatian utama sebab kerugian dari akibat yang ditimbulkan tak akan bisa ditutup dengan pajak yang dihasilkan dari para pengusaha sawit.

“Rakyat dirugikan karena lahannya diserobot pengusaha. Kalau ada apa-apa seperti kebakaran, uang rakyat dipakai untuk memadamkannya. Rakyat selalu sudah jatuh tertimpa tangga,” kata Yakub. Rtr/YK/SB/AR-2

 

Sumber: Koran-jakarta.com