Jakarta, CNN Indonesia — Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) mengatakan berbagai pihak di industri kelapa sawit harus mempertahankan harga di level moderat. Harga jual ini harus berdasarkan tolak ukur yang bisa memberikan keuntungan (margin) sebesar 30 persen kepada petani kelapa sawit.
Direktur Eksekutif Gimni Sahat Sinaga menyebut kenaikan harga kelapa sawit memang menggembirakan untuk jangka pendek. Namun, bisa berubah menjadi bumerang di jangka panjang karena akan menurunkan daya saing dengan minyak nabati lainnya.
“Saya pribadi menganggap harga sawit tinggi bisa dianggap sebagai bumerang terhadap industri sawit dalam jangka panjang. Ga boleh dipertahankan dalam level tinggi karena kalau level tinggi terus maka daya saing tidak akan begitu besar di pasar global,” jelasnya dalam video conference, Rabu (9/12).
Saat ini, ia bilang minyak kepala sawit mengambil 33 persen dari pangsa minyak nabati dunia, bersaing ketat dengan minyak kedelai yang memiliki kendali pasar global sebesar 22 persen.
Sehingga, jika harga sawit lebih mahal dari minyak nabati lain, ia khawatir sawit malah tidak laku di pasaran. Lebih lanjut, ia mengatakan strategi yang dimilikinya yaitu meningkatkan konsumsi minyak sawit hingga mencapai 60 persen.
Menurut dia, jika RI bisa mengandalkan pasar domestik dan mengekspor 40 persen dari total produksi, maka Indonesia dapat menjadi penentu harga (price leaader).
Namun, saat ini Indonesia masih mengandalkan ekspor, sebesar 65 persen dari hasil produksi dikirim ke luar negeri, sehingga soal harga Indonesia masih bisa ‘dipermainkan’ pasar global.
“Kalau sekarang kami masih bergantung dengan ekspor yang besar, 65 persen, maka kita sangat bisa dipermainkan harga pasar global,” ucapnya.
Sumber: Cnnindonesia.com