Tingginya harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) menjadi incaran para spekulan untuk meraup keuntungan. Apalagi di Indonesia terdapat dua segmen pasar minyak goreng yang memiliki perbedaan harga yang signifikan, yakni minyak goreng yang dijual melalui ritel modern dan pasar tradisional.

“Pasar minyak goreng itu ada dua segmen, melalui modern market dan pasar tradisional yang disebut minyak goreng dengan kemasan sederhana dan curah,” kata Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Rabu (3/11).

Berdasarkan data GIMNI, kebutuhan minyak goreng di pasar modern setiap tahunnya sekitar 1,2 juta ton per tahun. Sementara kebutuhan minyak goreng di pasar tradisional lebih tinggi yakni sekitar 2,2 juta ton per tahun.

Harga minyak goreng di masing-masing segmen juga memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Segmen pasar modern selama ini tidak begitu bermasalah, namun sebaliknya di segmen pasar tradisional tengah mengalami kendala kemampuan daya beli masyarakat.

“Segmen pasar (modern) tak bermasalah karena masyarakat pengguna di sini punya purchasing power tinggi, namun pasar (tradisional) mengalami sedikit kendala akan kemampuan daya beli,” kata dia.

Kondisi ini lah yang dikhawatirkan dimanfaatkan para spekulan yang membeli stok minyak goreng di pasar tradisional untuk kebutuhan ekspor. Mengingat kebutuhan minyak sawit secara global tengah mengalami peningkatan.

Untuk itu, Kementerian Perdagangan dan para asosiasi duduk bersama merancang harga minyak goreng di pasar modern dan pasar tradisional. Sehingga perbandingan harga di dua segmen ini tidak terlalu jauh.

“Maka itu lah Kemendag mengorganize pertemuan dengan GIMNI, AIMMI sebagai produsen dan retailer (Aprindo) agar minyak goreng itu berada dalam level yang affordable-price. Yang terakhir ini lah sedang dibuat perumusannya,” tutur Sahat.

Dia menjelaskan bila perbedaan harga khusus dengan harga pasar dunia terlalu tinggi, khawatir akan dimanfaatkan para spekulan. Sebab mereka akan memborong minyak goreng dari pasar tradisional yang harganya lebih murah untuk kepentingan ekspor.

“Bila terlalu tinggi perbedaan harga khusus dengan harga pasar dunia, maka para spekulan akan borong minyak goreng (dari pasar tradisional) itu dan akan mengekspornya, karena untungnya akan besar,” tuturnya.

Maka untuk mengantisipasinya, Pemerintah dan asosiasi tengah merumuskan selisih harga minyak goreng di dua segmen tersebut. Agar perbedaanya dengan harga pasar global tidak terlalu besar dan membuat para spekulan urung melakukan aksi borong minyak dari pasar tradisional.

“Nah itu lah yang sedang dirumuskan, agar selisih harga khusus dengan harga pasar global tidak terlalu besar. Sehingga kurang menarik bagi spekulan untuk berdansa di situasi sekarang ini,” kata dia mengakhiri.

Sebagai informasi, dalam beberapa waktu terakhir, harga minyak goreng di pasar tradisional maupun pasar modern terus mengalami kenaikan di sejumlah daerah di Indonesia. Berdasarkan data dari hargapangan.id pada 3 November 2021, harga minyak goreng di Gorontalo tembus Rp 23.000 per liter. Sementara di Jakarta harga minyak goreng rata-rata Rp 18.900.

Sementara itu dari infopangan.jakarta.go.id, harga minyak goreng di Jakarta rata-rata Rp 18.133 per kilogram. Harga tertinggi minyak goreng di Pasar Anyar Bahari dibanderol Rp 20.000 per kilogram, sedangkan harga terendah dijual di Pasar Pluit sebesar Rp 14.000 per kilogram.

 

Sumber: Merdeka.com