Pemerintah optimistis bahan bakar nabati BI 00 atau green diesel bisa mulai diproduksi dalam 2 tahun-3 tahun mendatang seiring dengan meningkatnya komitmen perusahaan kelapa sawit untuk terlibat dalam upaya tersebut.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebutkan sebanyak sepuluh perusahaan sawit Indonesia berkomitmen untuk ikut dalam rencana produksi green diesel atau B100 dari sebelumnya hanya 7 perusahaan.

“Dengan adanya sepuluh perusahaan yang tertarik dalam produksi green diesel ini, diharapkan dalam 2-3 tahun ke depan Indonesia sudah bisa memproduksi sendiri green diesel,” katanya usai rapat koordinasi terkait dengan biodiesel, Senin (2/9).

Meskipun demikian, Darmin tidak memberikan perincian perusahaan kelapa sawit mana saja yang memberikan komitmen tersebut.

Selanjutnya, dia menambahkan, green diesel ini akan dicampur dengan B30. Pencampuran ini diharapkan akan menghasilkan B50 atau B60.

“Setelah itu kita enggak bicara B40 tapi kita berharap 2-3 tahun dari sekarang green diesel itu sudah mulai dihasilkan sehingga B100 dengan B30 kalau dicampur itu akan dapat B50, kemudian B60. Jadi habis B30 itu bukan B40 dulu,” jelasnya.

Untuk itu, menurutnya, masih diperlukan diskusi lanjutan dengan sejumlah perusahaan yang berkomitmen
untuk menghasilkan green diesel ini.

Sebelumnya, Darmin berharap agar penerapan B30 bisa dimulai pada Oktober atau November tahun ini dari target semula pada awal tahun depan. Hal ini lantaran uji coba sudah dilaksanakan dan akan berakhir September ini dan hingga saat ini masih belum ditemukan hasil yang negatif dari uji coba tersebut.

Di sisi lain, saat ini pemerintah juga tengah berupaya untuk berdiskusi dengan perusahaan yang memproduksi alat atau mesin penghasil atau pembuat green diesel.

Pemerintah berharap, dengan semakin banyaknya perusahaan yang menghasilkan green diesel di dalam negeri, maka perusahaan penghasil alat pembuat green diesel bisa memberikan harga yang lebih kompetitif.

Bahkan, diharapkan perusahaan tersebut mau berinvestasi di dalam negeri setidaknya untuk memproduksi suku cadang atau spare part untuk alat produksi green diesel.

Untuk mencapai B100, menurut Darmin, diperlukan nilai investasi sebesar US$20 miliar, dan seharusnya seluruhnya berasal dari swasta dan bukan pemerintah.

PERLU PROSES

Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menyatakan siap memenuhi target pemerintah untuk memproduksi greendiesel pada 2 tahun-3 tahun ke depan. “Siap saja, nggak ada masalah,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (2/9).

Namun, kata Paulus, pemerintah perlu melakukan perhitungan yang pasti. Pasalnya, untuk memproduksi
green diesel skala besar, bukan hanya kesiapan teknologi dan ekonominya, tetapi juga uji coba yang perlu diperhatikan.

Pembangunan green diesel sendiri memerlukan proses yang lama dan butuh investasi yang besar. “Biaya investasi sama dengan (membangun) kilang minyak Pertamina,” imbuhnya.

Paulus berpandangan mungkin Pertamina yang paling siap memproduksi green diesel dalam waktu dekat. “Kalau mau dilaksanakan besok pun bisa Pertamina karena itu prosesnya berhubungan dengan crude oil di kilang Pertamina,” tuturnya.

Senada, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono mengatakan bahwa sebelum diimplementasikan, peningkatan kadar minyaksawitdalam bahan bakar tentu harus melalui sejumlah tes.

Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki), serapan biodiesel sepanjang semester I menunjukkan pertumbuhan signifikan dibanding dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Gapki mencatat serapan mencapai 3,29 juta ton, naik 144% dibandingkan dengan 2018.

Sementara itu, pada April 2019, Kementerian Pertanian telah meluncurkan B100 atau bahan bakar yang berasal dari 100% Crude palm oil(CPO) dengan rendemen 87%. Uji coba telah dilakukan pada 50 mesin pertanian dan kendaraan dinas Kementan.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan bahwa uji coba penggunaan B100 akan dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu 1 tahun-2 tahun ke depan.

B100 juga diklaim lebih efisien 40% dibandingkan dengan bahan bakar fosil seperti solar. Jika 1 liter solar hanya dapat menempuh jarak 9,4 kilometer, dengan menggunakan B100 dimungkinkan menempuh jarak hingga 13 kilometer/liter.

 

Sumber: Bisnis Indonesia