JAKARTA. Salah satu negara di kawasan Eropa Barat, Swiss, resmi bersepakat untuk menghapuskan bea masuk produk minyak sawit mentah atau crudepalm oil(CPO) asal Indonesia. Meskipun nilai ekspor CPO ke negeri ini masih mini, ada harapan produk sawit Indonesia bisa masuk ke negara-negara Uni Eropa.

Kebijakan pemerintah Swiss setelah menempuh referendum lewat jalur voting oleh masyarakat dan diputuskan di tingkat parlemen Minggu (7/3). Mereka tetap mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan termasuk organisasi non-pemerin-tahan (LSM). Hasilnya, sebanyak 51,7% rakyat Swiss menyetujui perjanjian dagang antara Indonesia dan Swiss.

Presiden Swiss Guy Parnielin bilang, perjanjian perdagangan bebas ini merupakan salah satu dukungan negara Swiss untuk mendorong Indonesia sebagai pengekspor CPO terbesar di dunia. Terlebih, minyak sawit merupakan salah satu balian baku industri pengolahan di Swiss.

“Untuk pertama kalinya, rakyat dipanggil untuk memberikan suara pada perjanjian dagang. Pemungutan suara ini bukanlah pilihan ekonomi atas hak asasi manusia dan lingkungan,” kata Parmelin dikutip dalam laman sirissiyi-fo.ch, Senin (8/13).

Juru Bicara Gabungan Pengusahakelapa sawitIndonesia (GAPKI) Tofan Mahdi mengapresiasi dibukanya keran ekspor CPO dari Indonesia. Ia bilang, kesepakatan perdagangan ini menjadi solusi yang saling menguntungkan untuk industri minyak sawit Indonesia dan Swiss.

GAPKI berharap, kebijakan Swiss membawa sinyal positif kepada negara-negara di Uni Eropa lainya yang selama ini mengharamkan produk CPO Indonesia karena dituding merusak lingkungan. “Indonesia sedang melawan larangan Uni Eropa atas penggunaan minyak sawit sebagai balian bakar nabati,” kata Tofan.

Sementara itu, Swiss juga mengambil keuntungan atas perjanjian perdagangan tersebut. Sebab, ekspor produk dari Swiss seperti keju, produk farmasi, dan jam tangan akan dibebaskan bea masuk.

Negosiasi negara lain

Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finci7ice (Indef) Tauhid Ahmad menyambut baik, perjanjian perdagangan Indonesia-Swiss. Menurutnya, hal itu dapat mematahkan kampanye hitam di Uni Eropa
yang mengaitkan CPO Indonesia dengan isu lingkungan.

Tauhid berharap, kebijakan pemerintah Swiss menjadi sinyal positif agar negara Uni Eropa kembali menerima CPO dari Indonesia. Namun, Indonesia tidak boleh tinggal diam untuk bernegosiasi dengan negara lain.

Namun demikian, volume ekspor CPO ke Swiss masih sebagian kecil dari market di Uni Eropa. Makanya, Tauhid berharap pemerintah bisa merayu pemerintahan Inggris untuk membuka ekspor CPO Indonesia. Apalagi, CPO ter-
bukti merupakan energi yang ramah lingkungan, cocok dengan misi Uni Eropa untuk menggunakan green energy.

“Ini merupakan kebijakan yang saling menguntungkan. Ketersediaan CPO untuk biodiesel juga masih melimpah, sehingga kalau mau di ekspor, kebutuhan dalam negeri sudah cukup,” kata Tauhid.

Ke depan, jika negara di kawasan Eropa lain membuka peluang CPO Indonesia masuk, maka kompensasi impor barang negara asal harus merupakan barang yang tidak diproduksi di Indonesia.

 

Sumber: Harian Kontan