TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sektor kelapa sawit menunjukkan ketangguhannya selama pandemi Covid-19 dari aspek kontribusi terhadap perekonomian dan pembangunan nasional.
Di daerah sentra kelapa sawit, aktivitas perekonomian terus berjalan tanpa hambatan. Besarnya kontribusi kelapa sawit harus dibarengi keberpihakan pemerintah untuk melindungi komoditas ini dari kampanye hitam NGO (Non Government Organization) asing.
“Dari survei yang kami lakukan di 11 provinsi dan 31 kabupaten, pandemi Covid-19 tidak mengganggu ekonomi petani sawit. Kami sangat mensyukuri harga CPO dan TBS petani sangat tinggi. Dan jarang terjadi durasi harga tinggi seperti sekarang berlangsung dalam waktu lama. Daerah remote area dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua sedang menikmati harga,” ujar Sekjen DPP APKASINDO Rino Afrino.
Berkaitan pengentasan kemiskinan dan pembangunan, diakui Rino Afrino, banyak desa di wilayah terpencil yang dulunya tidak ada kehidupan. Faktanya kini berubah drastis setelah kelapa sawit masuk ke wilayah tersebut.
”Terjadi perputaran ekonomi yang luar biasa. Kehidupan desa seperti kecamatan di mana indikatornya adalah kehadiran bank milik negara dan swasta. Begitu banyak sekolah dan pasar di situ yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan karena wilayah tersebut sangat terpencil,” urai Rino dalam webinar bertemakan “Apresiasi Kinerja Dan Masa Depan Petani Sawit Indonesia”, pada pertengahan Agustus 2021.
Dalam kesempatan sama, Mantan Menteri Pertanian RI Prof. Bungaran Saragih mengakui bahwa kelapa sawit telah mampu mengurangi kemiskinan karena terdapat peranan rakyat di dalam rantai bisnisnya. Kelapa sawit memiliki kemampuan untuk membangun ekonomi sebuah areal terpencil menjadi lebih cepat.
Ada banyak kabupaten baru yang lahir di wilayah remote area seiring dinamisasi dan akselerasi perkembangan sawit. Kehadiran perkebunan kelapa sawit telah tersebar di 190 kabupaten yang berdampak positif bagi perekonomian daerah.
“Saat ini, kelapa sawit adalah komoditas terbesar bagi Indonesia yang kontribusinya lebih baik daripada minyak bumi. Disinilah perlunya memperkuat kemitraan perusahaan dan rakyat dengan dukungan kebijakan bersahabat dari pemerintah kita,” ujar Prof. Bungaran.
Meski demikian, Plt. Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengeluhkan kontribusi kelapa sawit bagi Indonesia masih terus mendapatkan hadangan dari kampanye hitam yang dihembuskan jejaring NGO internasional seperti Greenpeace, Mighty Earth, Rainforest Action Network, AidEnvironment, dan lainnya. Padahal, dibandingkan minyak nabati lain, kelapa sawit jelas mempunyai keunggulan sulit tersaingi dari aspek produktivitas dan harga lebih kompetitif.
“Untuk menekan daya saing sawit, dibuatlah hambatan non tarif dan berbagai standar sustainability supaya menambah beban biaya produksinya. Serangan terhadap kelapa sawit dipastikan tidak akan pernah turun,” ungkapnya.
Seperti diketahui, kampanye hitam selama beberapa tahun terakhir kerap membayangi industri sawit terutama yang berada di wilayah-wilayah terpencil. Misalkan saja Mighty Earth yang gencar menggunakan isu deforestasi dan pembakaran hutan.
Belakangan ini, NGO tersebut diketahui tidak memiliki izin legalitas baik di Indonesia maupun di negara asalnya, Amerika Serikat. NGO ini merupakan sayap kanan dari lembaga lobi Waxman Strategies milik Henry Waxman, mantan anggota kongres Amerika, bekerja untuk mempengaruhi korporasi dalam penggunaan sumber produk alam terutama sawit melalui kampanye-kampanye media.
Ditegaskan kembali oleh Sahat, bahwa Indonesia tidak boleh tunduk dengan tekanan NGO internasional melalui beragam isu di dalam kampanyenya. Dari sejumlah kampanye yang dilakukan, NGO cenderung provokatif dan mengganggu perekonomian bangsa.
Sebagai contoh lain, tuduhan minyak sawit kotor yang pernah dilakukan Greenpeace. “Kampanye “Minyak Sawit Kotor” yang pernah dilakukan Greenpeace menunjukkan bahwa mereka tidak menghargai upaya pemerintah Indonesia dalam memperbaiki tata kelola sawit Indonesia.
“Makanya timbul pertanyaan, apakah kampanye NGO ini titipan dari komoditas pesaing sawit atau ada upaya-upaya negara tertentu untuk membuat ekonomi Indonesia menjadi lebih terpuruk?,”tanya Sahat.
Sahat menegaskan bahwa NGO yang tidak memberikan manfaat apapun bagi Indonesia sebaiknya ditindak tegas sesuai regulasi Indonesia. “Mereka tidak menambah perbaikan ekonomi dan mendorong pembangunan Indonesia, malahan merecoki kepentingan ekonomi kita,” pungkasnya.
Rino Afrino menegaskan pula masalah kampanye hitam menjadi perhatian utama petani sawit yang berpotensi mengganggu usaha petani. Itu sebabnya, segala macam kampanye hitam NGO berdampak negatif bagi kelapa sawit secara keseluruhan. Maka, pemerintah sebaiknya bertindak tegas kepada NGO yang merusak ekonomi nasional.
“Oleh karena itu, kami minta pemerintah bertindak tegas kepada NGO manapun yang mengganggu kepentingan nasional. Jangan dibiarkan kampanye hitam leluasa seperti itu,” tegasnya.
Sumber: Tribunnews.com