Emiten perkebunan kelapa sawit dan produsen minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mendapatkan sentimen positif atas penurunan inventori pada Januari 2019. Penurunan inventori diharapkan berlanjut sampai semester 1-2019 dipengaruhi atas faktor penurunan volume produksi sawit, kenaikan permintaan India dan Tiongkok, dan mandatori B20.

Berdasarkan data yang ditulis Danareksa Sekuritas terungkap bahwa inventori minyak sawit Malaysia telah mengalami penurunan sekitar 6,7% menjadi 3 juta ton pada Januari 2019, dibandingkan bulan Desember 2018. Penurunan dipengaruhi atas peningkatan permintaan ekspor minyak nabati tersebut dari India dan Tiongkok.

“Penurunan inventori tersebut dipengaruhi atas rendahnya volume panenan sawit, peningkatan permintaan CPO didorong mandatori B20, dan kenaikan ekspor komoditas tersebut untuk India dan Tiongkok,” tulis analis Danareksa Sekuritas Yudha Gautama dalam riset yang diterbitkan di Jakarta, kemarin.

Malaysia mencatat ekspor CPO sebanyak 1,68 juta ton pada Januari 2019 atau mengalami kenaikan sekitar 13,8% dari periode sama tahun lalu. Realisasi tersebut juga telah melampaui perkiraan konsensus analis sekitar 1,56 juta ton. Tingginya ekspor dipengaruhi atas tingginya permintaan dari pasar Tiongkok menjelang Imlek. Sedangkan kenaikan permintaan dari India dipengaruhi atas penurunan bea masuk CPO dari negara-negara Asean.

Penurunan suplai minyak sawit Malaysia tersebut mendorong Danareksa Sekuritas untuk tetap mempertahankan prospek overweight saham sektor perkebunan. Sedangkan rekomendasi beli diberikan untuk saham PT Astra Agro LestariTbk (AALI) dengan target harga Rp 16.500, saham PT PP London Sumatra Tbk (LSIP) dengan target harga Rp 2.000, dan saham PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) dengan target harga Rp 3.000.

Terkait ekspor CPO tahun ini, dia mengatakan, diperkirakan lebih baik dibandingkan realisasi tahun lalu. Pendorong utamanya adalah penurunan tarif bea masuk impor minyak sawit di India. Begitu juga dengan Tiongkok kemungkinan menaikkan permintaan akibat masih berlanjutnya perang dagang dengan Amerika Serikat.

“Kami memperkirakan harga CPO akan lebih baik tahun ini dipicu atas ekspektasi penurunan suplai global, realisasi mandatori B20, dan peningkatan ekspor ke Tiongkok dan India. Kami mempertahankan asumsi harga jual CPO MYR 2.550 per ton tahun ini,” terangnya.

Didasarkan proyeksi Oil World, Yudha sebelumnya mengungkapkan, suplai minyak sawit dunia diperkirakan meningkat sekitar 4,3% menjadi 74,4 juta ton. Pertumbuhan terbesar datang dari Indonesia, seiring sejumlah perkebunan kelapa sawit sudah memasuki usia panen. Sedangkan permintaan CPO dunia diharapkan bertumbuh sekitar 8,6% menjadi 74,5 juta ton akibat program bio diesel.

“Dengan perkiraan tersebut suplai CPO diperkirakan turun menjadi 18,7% tahun ini, dibandingkan tahun lalu sekitar 20,4%. Hal ini berpotensi menaikkan rata-rata harga jual CPO menjadi MYR 2.550 per ton tahun ini, dibandingkan perkiraan tahun lalu mencapai MYR 2.300 per ton,” terangnya.

Sedangkan Sinarmas Sekuritas dalam riset sebelumya memberikan pandangan positif terhadap emiten perkebunan kelapa sawit dan produsen CPO tahun ini. Emiten ini diharapkan mampu untuk meraup pertumbuhan kinerja keuangan didukung faktor utamanya kenaikan outlook rata-rata harga jual CPO.

Sinarmas Sekuritas dalam risetnya menyebutkan harga jual CPO memang mengalami penurunan sepanjang tahun lalu hingga mencapai level p terendah MYR 1.759 per ton. Penurunan ini dipicu atas kenaikan produksi yang tidak diimbangi dengan peningkatan permintaan, sehingga mengakibatkan penumpukan stok.

Namun kondisi demikian, menurut tim riset Sinarmas Sekuritas,
kemungkinan tidak terulang lagi tahun ini. Harga jual CPO justru diperkirakan naik seagai dampak adanya titik keseimbangan permintaan dan penawaran komoditas ini untuk beberapa tahun mendatang. Kedua, peningkatan harga ditopang atas dukungan regulasi dari pemerintah Indonesia dan Malaysia seperti pembebasan pungutan ekspor CPO.

Program mandatori biodiesel yang menaikkan campuran biodiesel menjadi 20% terhadap untuk diesel nonsubsidi yang telah digelontorkan
pememerintah sejak tahun lalu akan menaikkan permintaan minyak sawit ini ke depan. “Kami memberikan proyeksi bullish terhadap industri CPO dengan perkiraan kenaikan rata-rata harga jualnya tahun ini berada di level MYR 2.000-2.5000 per ton,” tulis tim riset tersebut.

Sinarmas Sekuritas menyebutkan bahwa berdasarkan data terbaru USDA produksi CPO Indonesia diharapkan mencapai 41,5 juta ton tahun 2018 dan 2019. Sedangkan Malaysia diperkirakan memproduksi sebanyak 20,5 juta ton CPO atau dengan pertumbuhan sebesar 4,1% tahun ini. Moderatnya kenaikan produksi dipengaruhi atas terbatasnya penanaman areal perkebunan kelapa sawit baru dalam beberapa tahun terakhir setelah moratorium pembukaan lahan sawit sejak 2011.

Sedangkan permintaan CPO global diperkirakan meningkat sekitar 6,7% tahun ini atau hampir sama dengan perkiraan tahun lalu. Hal ini membuat suplai CPO dunia akan cenderung lebih rendah dibandingkan permintaan, sehingga berpeluang menaikkan harga jualnya.

Peningkatan permintaan CPO, menurut riset Sinarmas Sekuritas, juga didukung atas penurunan penurunan bea masuk impor sawit Indonesia dari sebelumnya 44% menjadi 40% mulai awal tahun ini. Di waktu bersamaan, Indonesia juga sedang melakukan pembicaraan secara intensif dengan pemerintah India untuk menurunkan bea masuk impor komoditas ini.

“Kami melihat bahwa penurunan pajak impor CPO akan menaikkan permintaan dan akhirnya memberikan sentimen positif terhadap industri sawit. Sebab, India tercatat sebagai negara importir CPO besar dunia,” terangnya.

Berbagai faktor tersebut mendorong Sinarmas Sekuritas utnuk memberikan prospek overweight untuk saham emiten perkebunan kelapa sawit dan CPO. Rekomendasi ini menggambarkan cerahnya prospek industri ini, seiring dengan terbukanya peluang kenaikan harga jualnya. Sedangkan saham pilihan sektor ini adalah saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dengan target harga Rp 14.900 dan saham PT PP London Sumatra Tbk (LSIP) dengan target harga Rp 1.600.

Sumber: Investor Daily Indonesia