BEGITU sulitnya kita berpikir untuk kepentingan Indonesia. Sering kali kita hanya peduli kepada sektor yang menjadi tanggung jawab kita tanpa mau melihat manfaat lebih besar bagi Indonesia. Tidak usah heran apabila banyak kebijakan yang bertabrakan dan akhirnya merugikan kepentingan Indonesia yang lebih besar.

Kasus terakhir ialah impor bahan baku karton. Dalam upaya menjaga kepentingan bahan baku industri dan lingkungan, beberapa kementerian membahas batasan plastik yang masih diperbolehkan. Amerika Serikat, misalnya, memberikan batasan 2% plastik boleh dipergunakan dalam karton\’pembungkus.

Saat pembahasan tentang batasan itu sedang dilakukan, tiba-tiba Sucofindo membuat surat edaran ke seluruh negara di dunia bahwa Indonesia tidak menoleransi lagi adanya plastik dalam bahan baku karton dan kertas pembungkus. Akibatnya, pasokan bahan baku langsung berhenti dan industri karton serta pembungkus menghadapi masalah.

Bukan hanya ekspor yang akhirnya terganggu, melainkan juga impor karton dan kertas pembungkus otomatis meningkat. Di tengah kita berupaya menekan defisit neraca transaksi berjalan, sekarang yang terjadi justru sebaliknya.

Dalam konteks itulah Menteri Perindustrian Airlangga Har-tarto mengajak kita untuk mau mendahulukan kepentingan besar Indonesia. Salah satu yang bisa dilakukan ialah di sektor energi. Tingginya impor bahan bakar minyak menyebabkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II mencapai US$8,4 miliar.

Tekanan itu akan bisa berkurang kalau kita mau menggunakan energi yang lebih berkelanjutan, yaitu energi yang berasal dari minyak nabati. Indonesia memiliki potensi yang besar karena produksi minyak kelapa sawitnya mencapai 47 juta ton per tahun.

Sebenarnya sudah sejak 2006 diingatkan agar sebagian kebutuhan BBM solar menggunakan biodiesel. Namun, kebiasaan berpikir sektoral tadi membuat kebijakan itu tidak bisa berjalan. Masing-masing mempunyai alasan untuk keberatan mendukung kebijakan tersebut.

Presiden Joko Widodo kali ini tegas bahwa kebijakan itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Untuk bahan bakar diesel, harus 20% bahan bakunyaberasal dari biofuels. Ternyata biodiesel B20 itu tidak banyak berpengaruh kepada kinerja kendaraan. Menurut Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Johannes Nangoi, hanya ada penurunan performa sekitar 1% dan itu tidak terlalu berpengaruh kepada kinerja kendaraan. Demikian pula untuk perawatan mobil khususnya pergantian filter yang masih dalam rentang perawatan.

Pemerintah sekarang mencoba bergerak ke biodiesel B30. Uji coba terhadap performa kendaraan sedang dilakukan. Tujuh produsen mobil ikut dalam uji coba yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia Paulus Tjakrawan menjelaskan, dengan kebijakan B20, sebenarnya sekitar 12% saja produksi minyak Kelapa Sawit yang dipergunakan. Namun, manfaatnya terhadap penghematan devisa mencapai US$3,2 miliar. Kalau kelak kebijakan B30 berjalan, 15% produksi minyak Kelapa Sawit yang akan terpakai untuk biofuels dan penghematan devisanya akan meningkat menjadi US$5 miliar.

Bayangkan apabila kebijakan penggunaan biofuels diterapkan juga pada industri pertambangan, angkutan umum, kereta, dan kapal laut. Penghematan devisa yang bisa kita lakukan akan lebih besar dan otomatis akan mengurangi tekanan pada neraca transaksi berjalan.

Jangan lupa langkah ini juga akan merangsang putra-putra Indonesia untuk melakukan riset lebih jauh. Sekarang ini peneliti Indonesia sudah menemukan katalis \’Merah-Putih\’ dari minyak Kelapa Sawit yang bisa dipakai untuk mendongkrak produksi minyak dari sumur-sumur minyak tua. Kalau Presiden mau menerima penemunya, sang peneliti akan merasa bangga dan otomatis peneliti lain akan berlomba menemukan karya hebatnya karena tahu Presiden akan mengapresiasinya.

Penggunaan biofuels oleh negara sebesar Indonesia pasti akan mendisrupsi dunia. Tidak hanya industri migas yang akan bergeser, tetapi juga kebutuhan minyak nabati untuk pangan pun akan tergoncang. Tidak mungkin kebutuhan minyak nabati dunia hanya bergantung kepada minyak jagung, kedelai, bunga matahari, dan zaitun.

Tidak keliru apabila Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia Sahat Sinaga mengatakan kita harus mengubah paradigma terhadap kelapa sawit. Indonesia harus mengubah citra dari negara terbesar penghasil minyak Kelapa Sawit menjadi negara terbesar penghasil olein dan turunannya.

Penggunaan olein dan turunannya yang lebih besar di dalam negeri akan membuat kita tidak terlalu bergantung kepada pasar dunia. Justru dalam jangka menengah, pengurangan pasokan ke pasar dunia akan membuat harga minyak nabati meningkat. Pada akhirnya petani kita akan mendapat manfaatnya. Kemauan untuk berpikir untuk kepentingan Indonesia yang lebih besar seperti itulah yang kita butuhkan sekarang ini.

 

Sumber: Media Indonesia