PERMINTAAN minyak goreng nabati akan terus meningkat di masa mendatang dan Indonesia diperkirakan harus mampu memasok 30 juta ton pada 2045-2050. Untuk itu, peningkatan produktivitas sawit rakyat merupakan tantangan yang harus segera diselesaikan.

“Indonesia harus melakukan berbagai cara untuk memenuhi itu. Salah satu cara yang paling mendasar ialah dengan meningkatkan produktivitas dan yang paling utama dari perkebunan sawit rakyat,” papar Direktur Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa sawit Bayu Krisnamurthi, di Sukoharjo, Jawa Tengah, kemarin.

Ia menambahkan luas area perkebunan sawit rakyat telah mengalami peningkatan signifikan, dari 6.175 hektare pada 1980 menjadi 4,76 juta hektare pada 2016. Namun, produksi sawit rakyat baru mencapai 35%, tertinggal jauh bila dibandingkan dengan perusahaan perkebunan sawit swasta yang mencapai 57%, dengan luas area yang hampir sama.

Gap produksi perkebunan sawit rakyat itu masih terlalu besar. Idealnya 1 hektare bisa menghasilkan 25 ton tandan buah segar, dengan tingkat rendemen 25%. Dengan begitu, setiap 1 hektare tanaman bisa menghasilkan 5-6 ton minyak sawit mentah. “Saat ini baru 2,5 ton-3 ton per hektare,” kata dia.

Ia menegaskan Indonesia sebagai negara penghasil dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia harus mampu mempertahankan daya saing di pasar minyak nabati global. Selain itu, mempertahankan keberlanjutan manfaat yang diberikan sawit kepada Indonesia dan dunia.

“Pertemuan teknis ini diharapkan menjadi ajang sharing temuan dan inovasi yang bisa berkontribusi pada peningkatan produktivitas perkebunan sawit rakyat,” kata Bayu.

Mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih sependapat dengan Bayu. Menurutnya, peningkatan daya saing merupakan kunci untuk memenangi persaingan yang makin ketat di masa mendatang. Selain itu, harus meningkatkan daya saing petani. “Salah satunya dengan mendorong para petani untuk menyatukan diri dalam sebuah organisasi.”

(FR/N-2)

Sumber: Media Indonesia