Jakarta, Gatra.com – Sudah 4 tahun program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) berjalan, dan selama itu pula, target program — semula memberikan bantuan Rp25 juta perhektar dan naik menjadi Rp30 juta perhektar sejak Juni 2020 — tak pernah kesampaian.
Tahun 2017 misalnya, Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) membikin target PSR 20.780 hektar.
Tapi yang kesampaian cuma 13.206 hektar. Terus setahun kemudian, yang tadinya ditargetkan 185 ribu hektar, yang terealisasi hanya 35.159 hektar.
Masuk ke tahun 2019, Ditjenbun memasang target 180 ribu hektar. Alhamdulillah, capaian meningkat dari tahun sebelumnya; 88.339 hektar.
Target yang sama dipasang lagi di 2020. Hasilnya, naik juga dibanding tahun sebelumnya menjadi; 92.066 hektar.
Sebetulnya, kalau ditengok dari usaha Ditjenbun untuk mendongkrak capaian tadi, tak ada lagi sebenarnya yang kurang.
Tengok sajalah dari sisi syarat. Yang tadinya syarat itu mencapai 14 deret, berangsur berkurang hingga menjadi dua syarat; kelembagaan petani dan legalitas lahan.
Dampak dari penyederhanaan syarat inilah yang berkemungkinan besar membikin target capaian tadi berangsur naik.
Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia (MBI) menengok, apa yang dilakukan oleh Ditjenbun tadi masih sebatas pada pemenuhan target luasan PSR, dan itupun masih tetap akan terseok-seok.
Soalnya, selain persyaratan yang masih ngambang, klaim kawasan hutan atas kebun kelapa sawit rakyat justru menjadi ganjalan paling besar target tadi.
Ini akan sangat berdampak pada kebutuhan Bensin-Biohidrokarbon di tahun 2024 yang mencapai 19,8 juta ton Industrial Vegetable Oil (IVO) atau CPO+.
Kebutuhan ini akan sulit tercapai baik dari sisi jumlah (volume dan kesinambungan) pasokan maupun dari sisi harga (produktivitas dan teknologi inovasi ke Bensin-Biohidrokarbon).
Soalnya untuk bisa mendapatkan 19,8 juta ton IVO kata Ketua MBI Sahat Sinaga, produktifitas petani musti 20 ton Tandan Buah Segar (TBS) perhektar pertahun (TBS/Ha/Thn).
“Sementara sekarang produktifitas itu masih di kisaran 8-10 ton TBS/Ha/Thn,” rinci Sahat saat berbincang dengan Gatra.com, Rabu (7/4).
Kalaupun produktifitas tercapai, TBS petani kata jebolan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung 1973 ini, musti menghasilkan 23,5% kadar minyak (rendemen).
Ini berarti, petani musti bisa mengejar angka 4,5%-5% lantaran saat ini rendemen sawit petani masih di kisaran 18%-19%.
Nah, perhitungan empiris MBI kata Sahat, biar produksi TBS dan rendemen tadi bisa tercapai, dari tahun 2021-2025, harus ada 4,2 juta hektar kebun sawit rakyat yang menjalani PSR.
Biar petani semangat mencapai target produksi dan rendemen tadi, petani musti dikasi tahu berapa besaran margin yang bisa didapat petani.
Terus dikasi tahu juga kalau pengelolaan kebun petani sawit itu bisa mengolah manfaat dari sistim perpajakan yang ada sekarang yang harusnya sudah memberikan keringanan biaya produksi terhadap tanaman para petani.
“Kalau semua ini dijelaskan, perlahan petani akan melek berbisnis,” ujar ayah tiga anak ini.
Perkiraan MBI kata Sahat, kalau produktivitas 20 Ton/Ha/Thn, tingkat kematangan level 3 dan harga jual TBS di kebun katakanlah Rp 1.035 perkilogram, para petani masih bisa dapat margin sekitar 28% dari biaya pokok.
Yang kemudian menjadi pertanyaan Sahat adalah, apakah pola dan hitung-hitungan tadi pernah dijabarkan oleh para penyuluh atau pemberi loan ke para petani, atau cuma euporia dan sibuk memberi pinjaman atau bantuan?
Belum lagi soal manajemen pengelolaan dana replanting dan pengawasan pelaksanaan di lapangan supaya dana yang tersedia jangan sampai dipotong atau beralih ke lain peggunaan.
“Untuk penyimpangan penggunaan duit, mestinya ada sanksi pidana, bukan perdata. Nah, kalau yang semacam ini tidak dijabarkan, maka PSR bukan solusi jangka panjang, tapi hanya akan membikin pengulangan sejarah; kembali bangkrut. Sebab begitu mau replanting, para petani akan merana lagi lantaran mereka tak akan pernah punya duit sendiri untuk mereplanting kebunnya,” panjang lebar Sahat mengurai.
Sahat kemudian mengingatkan bahwa PSR semestinya bukan sekadar replanting kasi-kasi duit, tapi justru sarat dengan sosialisasi, petani dikasi pengetahuan soal pembiayaan dan profitabilitas, biar petani semakin maju.
Kalau sekadar kasi-kasi duit kata Sahat, ini akan sama saja dengan cerita di jaman dulu, begitu PSR kelar, petani akan tiarap, tak ada perkembangan dan dana PSR pun dipastikan tak akan mencapai sasaran.
Biar itu tidak terjadi dan PSR moncer (mantap) kata Sahat, ada baiknya Presiden Jokowi segera menunjuk atau membikin satu institusi pelaksana PSR dengan target capaian 4,2 juta hektar,produktivitas tanaman minimal 20 ton TBS/Ha/Thn. “Kayak Badan Restorasi Gambut (BRG) itu juga lah,” katanya.
Institusi itu sekaligus mengembangkan korporasi petani sawit yang memiliki Palm Oil (PO) Mill yang sesuai kebutuhan mereka. Biar biaya transportasi TBS hemat dan konversi dari harga CPO ke TBS lebih tinggi.
Biasanya kata Sahat, kedua elemen ini adalah sebagai “the killing valley” bagi para petani sawit.
“Lantaran revenue (baik berupa devisa dan juga pasar dalam negeri) yang dihasilkan sektor sawit ini sangat besar, Institusi ini musti jelas tanggung jawab/line of command nya. Musti diberi wewenang kuat untuk mengamankan persawitan Indonesia,” tegasnya.
Sumber: Gatra.com