Industri sawit nasional sepertinya bakal menghadapi tantangan berat. Ada tren yang menunjukkan pasar global mengalami kejenuhan. Alhasil, volume ekspor turun. Ada usulan agar pungutan sawit diberlakukan lagi.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga membeberkan, ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di semester I-2019 diprediksikan sebesar 17,4 juta ton. Angka ini lebih rendah ketimbang realisasi ekspor semester I-2018 yang mencapai 18,4 juta ton.

“Pasar luar negeri sudah mulai jenuh dengan CPO. Kapasitas refinery atau kilang minyak sawit mentah di negara-negara tujuan ekspor semakin turun,” beber Sahat dalam acara Buka Puasa Bersama media di Jakarta, Kamis (16/5/2019).

Dengan begitu, pengadaan barang pun dibuat menyesuaikan dengan kapasitas yang ada. “Sampai Juni penjualan jauh dari harapan. Mereka itu sudah terlewat manja. Lebih suka impor produk jadi. Mereka tidak mau repot-repot bangun refinery, kelola limbah. Sementara, kita ini sebagian besar ekspornya masih berupa CPO, masih mentah. Kalau ada perbaikan di regulasi di semester II, baru kita bisa meningkat. Proyeksi ekspor semester I hanya tumbuh di CPO, tapi produk hilir di refinery menurun. Secara keseluruhan steady, segitu-segitu saja,” terang Sahat.

Ke depan, Sahat berharap, pemerintah bisa menyediakan insentif yang signifikan kepada industri hilir kelapa sawit. “Indonesia tidak bisa hanya bergantung lagi pada CPO. Harus ada perubahan masif ke arah hilir,” tuturnya.

Di samping itu, ia juga meminta pemerintah untuk kembali menerapkan pungutan ekspor terhadap produk sawit. Tidak peduli berapapun harga komoditas itu di level global.

Dalam penarikan pungutan, ia pun merekomendasikan pemerintah untuk menerapkan tarif yang berbeda antara produk mentah dan jadi. “Produk mentah harus lebih tinggi dari produk jadi. Yang mentah harus direm yang hilir dilancarkan,” tandasnya.

Data GIMNI menunjukkan, ekspor seluruh produk sawit RI di semester I-2019 ini diproyeksi sebesar 17,35 juta ton, dengan ekspor CPO sebanyak 5,07 juta ton dan produk hilir olahan sawit sebesar 12,28 juta ton. Total ekspor ini turun 5,34% dibandingkan semester I tahun lalu (year-on-year/yoy).

Adapun konsumsi domestik hingga tengah tahun ini diperkirakan mencapai 8,73 juta ton, terdiri atas 5,08 juta ton untuk produk olahan pangan, 496 ribu ton untuk produk olahan oleokimia, 3,14 juta ton untuk biodiesel (fatty acid methyl ester/FAME) dan 14 ribu ton produksi greendiesel.

Sahat berharap pemerintah kembali menerapkan pungutan ekspor bagi produk CPO supaya ekspor produk hilir bisa lebih bergairah di semester II tahun ini. Dengan adanya perbaikan regulasi itu, dia memproyeksi ekspor produk olahan dapat naik mencapai 15,3 juta ton di setengah tahun kedua nanti.

Penghapusan pungutan ekspor CPO yang dilakukan pemerintah sejak Maret lalu, menurutnya terbukti tidak memberikan perubahan signifikan terhadap harga sawit secara global.

“Indonesia sudah memutuskan hilirisasi industri sawit sejak 2008. Kalau [hulu] kembali dikenakan pungutan, bisnis berkembang, industri hilir akan berkembang. Selama ini kepentingan pelaku usaha di perkebunan lebih kencang dan lebih didengar. Nyatanya harga nggak akan pernah berubah. Betul kan? Paling benar ya menerapkan levy [pungutan] dengan segi tiga terbalik, terbesar di hulu dan makin kecil ke hilir,” jelasnya.

Dengan pengenaan kembali pungutan ekspor, Sahat memproyeksi ekspor sawit Indonesia dapat mencapai 18,5 juta ton di semester II tahun ini dengan 15,3 juta ton berupa produk olahan. “Tapi kalau tidak, ya ekspor produk hilir paling hanya 12,3 juta ton di semester II,” pungkasnya.

 

Sumber: Inilah.com