Kolaborasi dua Lembaga, AKPY-Stiper dan BPDPKS mengadakan lokakarya bertujuan untuk kesuksesan program PSR dan membangun kelembagaan petani sawit yang sehat dan mandiri.
Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang diinisiasi pemerintah perlu dukungan dari berbagai pihak agar dapat berjalan dan mencapai tujuan atau target. Pasalnya masih banyak petani yang enggan menebang tanaman kelapa sawit yang sudah tidak produktif dan berdampak pada “kehilangan” penghasilan.
Menanggapi kondisi tersebut, dua Lembaga yaitu Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta – Stiper (AKPY-Stiper) dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) berkolaborasi mengadakan workshop/lokakarya ‘Pendampingan Penguatan Kelembagaan Desa Sawit Mandiri Pangan dan Energi Berbasis UMKM. Lokarya diikuti perwakilan petani sawit dari Kabupaten Muara Bungo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi, pada 10 – 11 Desember 2020, di Jambi.
Melalui workshop kedua Lembaga itu, ingin memberikan pemahaman kepada petani sawit swadaya agar mau melakukan peremajaan tanaman kelapa sawit yang sudah tidak produktif. Serta memberikan peluang diversifikasi usaha baik sebelum peremajaan (replanting) maupun saat replanting dan sesudah proses replanting dengan memanfaatkan lahan pekarangan dan tumpang sari.
Seperti diketahui, proses peremajaan tanaman kelapa sawit diawali dengan menebang tanaman lama dan mempersiapkan lahan untuk ditanami tanaman baru. Proses tersebut yang menjadi momok bagi petani sawit karena kawatir kehilangan penghasilan.
Direktur AKPY-Stiper, Ir. Sri Gunawan, M.P mengutarakan target akhir dari kegiatan workshop yaitu menyukseskan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang menjadi program nasional diinisiasi pemerintah dalam meningkatkan produktivitas dan menyejahterakan petani. “Kegiatan pendampingan dijadwalkan selama dua tahun,” ujarnya, saat sambutan.
Dijelaskan Sri Gunawan, meskipun program PSR sudah berjalan namun masih ada kendala atau permasalahan yang dihadapi. Salah satunya masih banyak petani yang enggan meremajakan tanaman kelapa sawit yang sudah tidak produktif karena menjadi penghasilan yang diandalkan. “Karena tanaman ditebang sehingga tidak ada penghasilan, sementara pengeluaran tetap, meskipun mendapatkan hibah untuk peremajaan sawit dari pemerintah,” jelasnya.
“Berbeda dengan petani plasma yang dibantu oleh perusahaan. Maka kami melakukan penguatan kelembagaan, karena kelembagaan kunci sukses untuk mendukung program PSR supaya bisa mengkoordinasikan anggotanya. Problem utama penghasilan, maka dikelola bersama kaitannya dengan diversifikasi usaha. Pemanfaatan lahan pekarangan, untuk ditanami tanaman yang dapat menopang kebutuhan sehar-hari sehingga tidak perlu membeli, syukur-syukur dari hasil tanaman bisa dijual. Penjualan nantinya juga akan dijual dan dikelola oleh kelembagaan (koperasi),” imbuh Sri Gunawan, yang karib disapa Pak Gun.
Diversifikasi usaha diperlukan bagi petani agar tetap mendapat penghasilan selama proses replanting hingga menunggu tanaman kelapa sawit berbuah. “Nantinya, petani sawit disarankan menanam tanaman sayuran seperti sayuran (cabe, terong dan lainnya). Dan, tanaman empon-empon (jahe merah, kunyit, sere dan lainnya) Semua ini sebenarnya tanaman yang mudah dicari dan ditanam, tetapi memang belum dikelola dengan baik. Hasilnya bisa dikonsumsi sendiri atau dikelola bersama, kemudian diolah oleh UMKM menjadi produk hilir. minimal dijual ke warga sekitar,” tambah Direktur AKPY-Stiper.
Selain itu, petani juga disarankan untuk menanam tanaman buah-buahan (lemon, jambu dll). Lemon yang saat ini banyak dicari untuk dikonsumsi selama masa pandemi Covid-19. Hasil dari diversifikasi usaha bisa untuk konsumsi sendiri atau disetorkan ke koperasi kemudian diolah menjadi produk hilir oleh UMKM.
Sumber: Sawitindonesia.com