JAKARTA-Badan Pengelola Dana Perkebunan kelapa sawit (BPDPKS) telah menyalurkan dana sebesar Rp 5,32 triliun untuk pelaksanaan program peremajaan sawit rakyat (PSR) pada periode 2016-2020. Dengan dana tersebut, total luasan kebun sawit petani yang diremajakan mencapai 200.205 hektare (ha) yang dimiliki 87.906 pekebun.

Tahun ini, BPDPKS telah menyiapkan anggaran Rp 5,40 triliun untuk mendanai target PSR seluas 180 ribu ha atau dengan alokasi Rp 30 juta per ha kebun sawit petani.

Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrahman mengatakan, khusus 2020, dana yang disalurkan BPDPKS untuk PSR sebesar Rp 2,67 triliun dengan realisasi lahan 94.033 ha. BPDPKS menyalurkan dana berdasarkan rekomendasi teknis (rekomtek) yang dikeluarkan Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) yakni sebesar Rp 30 juta per petani dan maksimal luasan yang bisa dibiayai 4 ha per kepala keluarga (KK) petani. “Pemerintah menargetkan 180 ribu ha untuk tahun ini, dana yang diperlukan Rp 5,40 triliun, kami siapkan agar program PSR berjalan dengan baik. BPDPKS juga memberikan dukungan dana lainnya untuk operasional Ditjen Perkebunan dan Dinas Perkebunan di daerah dalam rangka penerbitan rekomtek,” kata dia saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IV DPR, Rabu (20/1).

Eddy menuturkan, BPDPKS berdiri pada 2015 dan program PSR dimulai sejak 2016. Meski realisasi PSR masihjauh dari target pemerintah seluas 500 ribu ha, perkembangan pelaksanaan PSR sejatinya sudah cukup baik. Pada 2016, realisasi PSR hanya 254 ha, namun pada 2017 naik menjadi 2.932 ha, pada 2018 seluas 12.524 ha, pada 2019 seluas 90.642 ha, dan pada 2020 seluas 94.033 ha. “Jika dibandingkan target yang diminta Bapak Presiden agar tiga tahun dilakukan PSR seluas 500 ribu ha atau 180 ribu ha tiap tahunnya, capaian PSR memang
masih kurang, baru sekitar 51%. Tapi kalau kita lihat perkembangannya cukup bagus, bahkan pada 2019 naik signifikan, kami apresiasi semua pihak. Harapannya, dengan terobosan yang sudah disiapkan Ditjen Perkebunan maka program ini bisa lebih cepat lagi,” jelas dia.

Sumber dana untuk program PSR yang disalurkan BPDPKS tersebut berasal dari pungutan ekspor (PE). BPDPKS menargetkan penghimpunan dana PE sawit tahun ini sebesar Rp 45 triliun. Hal itu seiring pemberlakuan tarif baru PE sawit per 10 Desember 2020 yang tertuang dalam PMK No 191/ PMK.05/2020 tentang Perubahan Atas PMK No 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPDPKS pada Kementerian Keuangan. Proyeksi dana itu dapat dicapai dengan perhitungan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tetap di level tertinggi pada 2021 yakni US$ 870,77 per ton berdasarkan harga referensi CPO yang ditetapkan Kementerian Perdagangan. Apabila harga CPO sepanjang tahun ini di level moderat maka PE sawit yang bisa dihimpun BPDPKS hanya Rp 36 triliun.

Di tempat yang sama, Dirjen Perkebunan Kementan Kasdi Subagyono mengatakan, dari total luas tutupan sawit yang mencapai 16,38 juta ha, yang dikelola petani mencapai 6,72 juta ha. Dari 6,72 juta ha tersebut, terdapat 2,78 juta ha milik petani swadaya yang mendesak untuk diremajakan karena usianya sudah di atas 25 tahun sehingga berpengaruh ke produktivitas tanaman. Karena itulah, program PSR diadakan, harapannya rata-rata produktivitas
sawit nasional yang hanya 3,60 ton CPO per ha per tahun bisa meningkat menjadi 5-6 ton CPO per ha per tahun seperti klon-klon tanaman sawit yang dihasilkan lembaga riset. “Jadi, pemerintah punya target program PSR 500 ribu ha pada 2020-2022 atau 180 ribu ha per tahun, tahun ini ditargetkan 180 ribu ha kebun sawit petani bisa dijangkau program PSR,” kata Kasdi.

Kasdi menjelaskan, pemerintah berusaha membuat program PSR tahun ini berjalan lebih kencang melalui sejumlah terobosan yang telah dan siap dijalankan. Pada 2017-2018, program PSR mengharuskan pekebun memenuhi 14 persyaratan untuk bisa lolos, namun mulai 2019 tinggal delapan persyaratan, dan pada 2020 tersisa dua persyaratan saja untuk memenuhi program PSR, yakni kelembagaan pekebun dan legalitas lahan. “Jadi mulai 2020 dan seterusnya hanya dua syarat saja. Yang lain memang tidak menjadi syarat tapi kami akan coba lengkapi, seperti STDB (surat tanda daftar usaha perkebunan untuk budidaya), kalau punya ini maka harga sawit petani bisa dibayar lebih tinggi karena trace-ability-nya jelas,” ungkap Kasdi.

Terobosan lainnya, kata Kasdi, pemerintah melakukan simplifikasi atau penyederhanaan proses verifikasi. Pada 2017-2019, verifikasi administrasi dilakukan sebanyak tiga kali, yakni di kabupaten, provinsi, dan pemerintah pusat. Mulai 2020, verifikasi cukup dilakukan sekali melalui modifikasi tim verifikasi dengan mengintegrasikan tim dari dari pusat, provinsi, dan daerah. Bahkan, mulai 2020 dan seterusnya BPD PKS juga membuat terobosan dengan merekrut tim surveyor independen untuk mempercepat proses awal pengurusan administrasi PSR di lapangan. “Jadi, melalui dua jalur, yakni Ditjen Perkebunan Kementan dan surveyor ini maka proses administrasi pengurusan PSR bisa berjalan cepat. Untuk kegiatan oleh surveyor ujungnya tetap di kami untuk sampai pada penerbitan rekomtek,” jelas Kasdi.

Stabilitas Harga

Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan An din Hadiyanto mengatakan, PSR memiliki tiga tujuan yakni peningkatan produktivitas dan kualitas tandan buah segar (TBS) sawit, peningkatan praktik perkebunan yang baik, dan perbaikan tata ruang perkebunan sawit Indoensia. Dalam empat tahun ini, target Komite Pengarah BPDPKS memang cukup ambisius mengingat potensi lahan sawit yang harus diremajakan mencapai 2,78 juta ha. “Dan berapapun yang dicapai Ditjen Perkebunan Kementan, kita pastikan BPDPKS mampu membayarnya. Misalnya, tahun 2020 targetnya 180 ribu ha dan tercapai 94 ribu ha, tapi anggaran untuk 180 ribu ha sudah disiapkan saat itu. Kami sangat apresiasi terjadi kenaikan PSR sangat signifikan dari tadinya hanya 20 ribu ha menjadi 94 ribu ha dan mudah-mudahan target 180 ribu ha per tahun bisa diupayakan dan BPDPKS sudah menyediakan dananya,” kata dia.

Tantangan di industri sawit selain produktivitas adalah permintaan (demand). Salah satu peran BPDPKS adalah membantu meningkatan permintaan melalui mandatori biodiesel agar harga sawit dalam hal ini CPO tetap terjaga, artinya kesejahteraan petani tetap baik dan industri hilir tetap berjalan mengingat saat ini sawit Indonesia mempunyai 150 produk turunan yang apabila harga bahan bakunya mahal maka industrinya bisa terganggu. “Harga CPO yang terlalu tinggi juga tidak bagus karena sawit Indonesia memiliki lebih 150 produk turunan. Kalau industri turunan ini terganggu nanti kesejahteraan petani juga bisa turun. Di sinilah peran BPDPKS untuk menjaga stabilitas harga sawit supaya terjaga, tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu rendah. Harga jangan sampai overshooting nanti banyak spekulasi,” ujar Andin.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia