Harga crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah terus menunjukkan reli sepanjang November 2019. Sejalan dengan itu, indeks saham agribisnis melaju 4,08% dalam sebulan terakhir.

Berdasarkan data Btoomberg, harga CPO kontrak Januari 2020 di Bursa Derivatif Malaysia ditutup di level harga 2.571 ringgit per ton pada akhir perdagangan Jumat (15/11). Di level harga itu, CPO sudah menguat 13,53% dalam 1 bulan atau 16,28% dalam 1 tahun.

Dalam sebulan terakhir, CPO sempat menyentuh level harga tertinggi 2.646 ringgit per ton pada 11 November 2019,

Berdasarkan catatan Bisnis, penguatan harga minyak sawit mentah ditopang oleh stok yang lebih rendah, ekspor yang kuat, dan prospek penurunan produksi.

Sejalan dengan menguatnya harga CPO, indeks saham agribisnis atau Jakagri bertenaga. Dalam sebulan, Jakagri menguat 4,08%. Namun, indeks yang menaungi saham-saham emiten sawit itu masih terkoreksi 11,48% secara year-to-date

Penguatan indeks Jakagri didorong oleh beberapa saham produsen CPO yang tumbuh dua digit dalam sebulan. Tiga diantaranya, yaitu saham PT Dharma Satya Nusantara Tbk. (DSNG) yang naik 24,85%, saham PT Sampoerna Agro Tbk. (SGRO) naik 21,74%, dan saham PT Astra Agro LestariTbk. (AALI) yang tumbuh 14,32% per 15 November 2019.

Namun, pada periode tersebut, saham PT Andira Agro Tbk. (ANDI), PT Eagle High Plantations Tbk. (BWPT), dan PT sawit Sumbermas Sarana Tbk. (SSMS) terkoreksi masing-masing 47,87%, 9,32%, dan 5,56% dalam sebulan.

Jessica Sukimaja, Research Associate MNC Sekuritas, mengatakan emiten kelapa sawit pada khususnya masih berpeluang untuk terus naik sampai dengan akhir tahun.

Menurutnya, industri CPO akan erat kaitannya dengan perundingan antara Indonesia dengan India yang merupakan salah satu importir minyak sawit terbesar. Indonesia, lanjutnya, berencana memangkas tarif bea masuk gula dari India.

Dia mengatakan kebijakan ini membuat bea masuk gula mentah untuk gula rafinasi dari India turun dari 10% menjadi 5%. Dengan demikian, CPO asal Indonesia bisa mulus masuk India. Selain itu, salah satu program pemerintah untuk mengembangkan B20 menjadi B30 yang akan dimulai pada Januari 2020 dan B50 pada akhir 2020 turut memberi katalis positif terhadap harga CPO.

“Kami juga memproyeksikan pengimplementasian B50 akan membawa pertumbuhan biodiesel meningkat menjadi 16,67 juta kiloliter atau 11 % dari estimasi 55 juta ton produksi CPO pada akhir 2020,” katanya kepada Bisnis pekan lalu.

SENTIMEN NEGATIF

Adapun, sentimen yang dapat menghambat laju emiten kelapa sawit adalah pelambatan ekonomi global yang berpotensi menyebabkan permintaan terhadap CPO kembali lesu.

Di sektor perkebunan sawit, Jessica merekomendasikan saham PT PP London Sumatra Indonesia Tbk. (LSIP) sebagai pilihan utama.

“Untuk pilihan utama dari MNC Sekuritas masih berada pada LSIP dengan target Rp 1.400 per saham,” imbuhnya.

Senada dengan Jessica, analis Ciptadana Sekuritas Asia Yasmin Soulisa mengatakan harga CPO akan membaik sehingga kinerja emiten perkebunan dapat terakselerasi.

Dia mengestimasi harga CPO akan stabil pada level 2.300 ringgit per ton atau US$553 pada 2020. Dengan catatan inisiatif B30 dapat berjalan dan bea masuk India lebih rendah.

Sejalan dengan proyeksi harga CPO, sektor agrikultur yang semula direkomendasikan netral pun dieskalasi menjadi overweight.

Jessica merekomendasikan beli terhadap saham PT Salim Ivomas Pratama Tbk. (SIMP) dan PT Tunas Baru Lampung Tbk. (TBLA). Target harga untuk SIMP dinaikkan dari Rp340 per saham menjadi Rp400. Sementara itu, TBLA diproyeksi dapat menyentuh level harga Rpl.040, naik dari proyeksi sebelumnya Rp890 per saham.

“Beberapa emiten lain sebenarnya sudah menunjukkan nilai yang sepadan. Namun, SIMP memiliki margin
yang lebih stabil dan TBLA yang menjadi produsen FAME [fatty acid methyl esters] akan diuntungkan dengan ekspansi kebijakan biodiesel,” katanya.

Selain itu, Yasmin pun merekomendasikan buy on weakness bagi LSIP dan AALI dengan sentimen positif yang tengah berhembus.

Yasmin menambahkan dengan perang dagang yang belum menunjukkan rekonsiliasi, China bisa menjadi destinasi ekspor CPO selanjutnya.

Pasalnya, sepanjang semester 1/2019, ekspor ke Negeri Panda itu telah tumbuh 4,7 %, sedangkan pasar tradisional, seperti Uni Eropa hanya tumbuh 0,7% dan India terkoreksi 16,5% dari periode yang sama tahun lalu.

Sementara itu, analis Panin Sekuritas Juan Oktavianus merekomendasikan LSIP kendati perseroan mengalami koreksi pada kuartal III/2019 sebesar 10,9% dari sisi pendapatan menjadi Rp2,6 triliun dengan laba bersih Rp53 miliar anjlok 84,6% dari periode sebelumya.

“Penurunan disebabkan kelebihan pasokan yang masih terjadi. Namun, kami melihat adanya potensi peningkatan harga jual rata-rata LSIP pada kuartal IV/2019 tercermin dari harga CPO global yang terus meningkat sejak pertengahan tahun hingga November 2019, ke 2.242 ringgit per ton,” sebutnya.

Menurutnya, saham LSIP dapat tumbuh hingga menyentuh Rpl.540 per saham. Pasalnya, operasional perusahaan yang efisien mampu mencetak produktivitas tertinggi di antara kompetitor dan memiliki neraca keuangan yang kuat dengan posisi net cash.

“Kami memperkirakan akan terjadinya penurunan persediaan global karena kebakaran hutan dan pengurangan pupuk. Berdasarkan hal ini, kami menaikan proyeksi untuk rerata harga global CPO pada 2020 di level 2.450 ringgit per ton sehingga laba bersih LSIP pada 2020 kami perkirakan mencapai Rp336 miliar naik 40%,” papar Juan.

 

Sumber: Bisnis Indonesia