Ada empat tantangan besar perkebunan sawit di Indonesia pada 2018 – 2020. Antara lain sustainability,  productivity gap, smallholder management, dan downstream industry.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Danang Giriwardana menyampaikan pengembangan industri hilir kelapa sawit perlu diperkuat dari aspek inovasi dan meningkatkan jumlah hak paten produk. Sebab Indonesia sebagai produsen CPO terbesar,  belum bisa menghasilkan produk turunan dengan inovasi pada industri hilir kelapa sawit.

“Industri downstream kita masih lemah, Kalau saya lihat inovasi produk kelapa sawit berjumlah 7.456 paten. Dari jumlah tadi, kepemilikan hak paten tidak didominasi negara produsen kelapa sawit. Sekitar 55 persen dipegang Amerika Serikat,” ujar Danang.

Dari seluruh paten yang ada, Indonesia baru punya 3 inovasi paten. Di level Asia, Malaysia menempati posisi teratas berjumlah 79 paten, Singapura sebanyak 34 paten, dan Thailand berjumlah 4 inovasi paten.

Di sektor swata, grup besar pemegang paten antara lain Unilever dan L’oreal. “Kalau kita lihat, hasil produk turunan CPO Indonesia juga cukup rendah. Produk turunan CPO Indonesia sebanyak 47 produk dan Malaysia memiliki lebih dari 100 produk turunan CPO.”

Danang menjelaskan berkaca dari fakta tersebut sejatinya perlu ada upaya bersama supaya inovasi paten sawit tidak lagi didominasi negara-negara non produsen kelapa sawit. Untuk itulah, pemangku kebijakan harus lebih jeli melihat kondisi ini.

Dalam perspektif Danang, ada empat tantangan besar perkebunan sawit di Indonesia Pertama, mengenai isu sustainability yang memuat tiga aspek penting yaitu, people, profit dan planet. Isu sustainability tidak terfokus kepada persoalan lingkungan hidup semata melainkan perlu melihat pula isu people (kesejahteraan) dan ekonomi (profit). Sustainability terhadap planet akan terjamin jika sustainablityekonomi orang-orang itu terjamin.

“Kita tidak boleh hanya memikirkan negara hanya sebatas hutan sementara masih ada rakyat yang miskin. Mestinya lebih mengedepankan jangan sampai tebang pohon tapi masyarakatnya miskin tidak bisa tanam apapun di lahan yang ada,” ujar Danang.

Padahal dari data yang disampaikan Danang menunjukkan tutupan hutan di Indonesia lebih besar daripada negara lain. Tutupan hutan di Indonesia sebesar 52%, Amerika Serikat 33,8%, Inggris 13,0%, Perancis 31%, Belanda 11,1%, dan Australia 16,0%.

Pertanyaan lebih lanjut yaitu  apakah Indonesia tidak boleh membuka hutan untuk membangun kesejahteraan rakyat? Sementara itu, kata Danang, negara-negara lain punya tutupan hutan yang jauh lebih sedikit namun dizinkan untuk mengembangkan pembangunannya dalam bentuk pelabuhan, akses jalan. Indonesia, membuka lahan sedikit, semua teriak deforestasi.

Point kedua mengenai kesenjangan produktivitasIndonesia mempunyai produktivitas sebanyak 4 ton per hektare lebih rendah dari Malaysia yang mencapai  10 ton per hektare. Bahkan untuk perkebunan rakyat baru di kisaran 2-3 ton perhektar, beberapa tempat ada kebun rakyat dengan produktivitas antara 1 hingga 1,5 ton per hektar. Dan, rendahnya produktivitas menjadi tantangan bagi Dirjenbun supaya petani rakyat dapat meningkatkan produktifitasnya.

Danang  menjelaskan poin ketiga yaitu smallhoder management. Ada sejumlah aspek penting untuk pembenahan petani kecil yaitu  performa manajemen perkebunan, gaya hidup petani, kemitraan dengan pabrik kelapa sawit (PKS), pola distribusi Tandan Buah Segar (TBS) dan pola interaksi petani sawit. Kendala yang dihadapi petani menurut Danang, banyak petani sawit tidak berkelompok tidak berorganisasi, maka perlu intervensi dengan membentuk Badan Usaha milik rakyat (BUMR) atau menjadi BUMDes.

 

Sumber: Sawitindonesia.com