Kalangan DPR RI mendukung pemerintah yang mengancam keluar dari Kesepakatan Perubahan Iklim Paris (Paris Agreement) apabila kebijakan anti sawit benar-benar diterapkan Uni Eropa (UE). Indonesia adalah negara berdaulat yang tidak bisa didikte oleh negara manapun di dunia ini, karena itu apabila memang terjadi ancaman terhadap eksistensi sawit di UE maka Indonesia harus bersikap.
Ancaman akan keluarnya Indonesia dari Paris Agreement diungkapkan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Anggota Komisi II DPR Firman Subagyo menilai, sebenarnya pemerintah terlalu lambat dalam menyikapi persoalan diskriminasi sawit oleh UE tersebut. “Walaupun terlambat, saya tetap memberikan apresiasi kepada apa yang disampaikan Pak Luhut itu,” kata Firman di Jakarta, kemarin.
Firman mengatakan, Indonesia adalah negara berdaulat yang tidak bisa didikte oleh negara manapun di dunia ini. Pemerintah juga harus melindungi seluruh kekayaan yang ada dalam bumi Indonesia, termasuk di antaranya komoditas sawit. Karena itu, kalau memang terjadi ancaman terhadap eksistensi sawit di Eropa, maka Indonesia harus bersikap. “Sikap kita ya tadi, kalau mereka boikot kita, ya kita bisa boikot (produk Eropa). Jangan kita diinjak-injak martabat kita, kita diam. Inilah sikap, walaupun terlambat sikap itu, saya memberikan apresiasi dan mendukung langkah pemerintah ini,” tegas Firman.
Dalam persaingan dagang minyak nabati antara Eropa dengan Indonesia, Eropa selalu menggunakan instrumen politik dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau nongoverment organization (NGO). Menurut Firman Soebagyo, sejumlah LSM berkedok lingkungan yang selama ini melakukan kampanye hitam terhadap industri kelapa sawit dibiayai oleh Eropa.
Peter F Gontha, Staf Khusus Menteri Luar Negeri RI mengatakan, Brasil keluar dari Paris Agreement demi mengembangkan perkebunan tebu untuk produksi etanol dan meningkatkan produksi daging melalui ternak sapi. Demi mengembangkan perkebunan tebu dalam skala besar dan pembangunan peternakan itulah, Brasil membuka hutan Amazon. Hal ini bisa menjadi referensi bagi Indonesia. Pelarangan penggunaan minyak sawit untuk biofuel di kawasan Eropa diduga merupakan upaya UE untuk memperbaiki defisit perdagangan terhadap Indonesia. “Mereka mau membanned (melarang) sawit, pertanyaannya apakah mereka mencoba untuk menurunkan (neraca dagang) atau agar neraca dagang kita berubah?” katanya, baru-baru ini.
Nilai ekspor Indonesia ke UE pada 2018 lalu mencapai US$ 17,10 miliar, sedangkan impor sebesar US$ 14,10 miliar. Dengan demikian, Indonesia mengantongi surplus perdagangan terhadap UE. Mengutip data Kementerian Perdagangan (Kemendag), total perdagangan kedua negara mencapai US$ 23,60 miliar pada periode Januari-September 2018. Jumlah itu meningkat 10,09% dari periode yang sama 2017. Kemendag juga mencatat selama lima tahun terakhir Indonesia mengalami surplus perdagangan terhadap UE.
Sebelumnya, Komisi UE telah menyerahkan Delegated Regulation Supplementing Directive of The EUrenewable energyDirective (RED) II kepada Parlemen UE. Dalam Delegated Regulation itu Komisi UE menilai kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan sehingga penggunaannya untuk bahan bakar kendaraan bermotor harus dihapus sepenuhnya pada 2030.
Sumber: Investor Daily Indonesia