DPR dan masyarakat sawit Indonesia mendukung pemerintah yang mengancam akan keluar dari Kesepakatan Perubahan Iklim Paris (Paris Agreement).
Ancaman itu diungkapkan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan setelah keputusan Komisi Eropa yang menghapus sawit sebagai sumber biofuel pada 2023.
Anggota Komisi 11 DPR Firman Subagyo menilai pemerintah terlalu lambat dalam menyikapi persoalan ini. “Walaupun terlambat, saya tetap memberikan apresiasi pada apa yang disampaikan Pak Luhut,” ujar Firman di Jakarta, kemarin.
Firman mengatakan, Indonesia adalah negara berdaulat yang tidak bisa didikte oleh negara manapun di dunia ini.
Pemerintah, katanya, juga harus melindungi seluruh kekayaan yang ada di dalam bumi Indonesia termasuk di antaranya komoditas sawit.
Oleh karena itu, kalau memang terjadi ancaman terhadap eksistensi sawit di Eropa, maka lndonesia harus bersikap. “Sikap kita ya tadi, kalau mereka boikot kita, ya kita bisa boikot (produk Eropa). Jangan kita diinjak-injak martabat kita. kita diam. Inilah sikap, walaupun terlambat sikap itu, saya memberikan apresiasi dan mendukung langkah pemerintah ini*” kata Firman.
Firman menegaskan, dalam persaingan dagang minyak nabati antara Eropa dengan Indonesia, Eropa selalu menggunakan instrumen politik dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non goverment organization (NGO). Sejumlah LSM berkedok lingkungan yang selama ini melakukan kampanye hitam terhadap industri kelapa sawit, dibiayai Eropa.
Direktur Eksekutif palm oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, jika Uni Eropa tidak mengubah pandangannya yang selalu negatif dan diskriminatif terhadap sawit Indonesia, maka seluruh masyarakat sawit Indonesia mendukung ancaman pemerintah agar Indonesia keluar dari Paris Agreement.
Menurut Tungkot, takada salahnya apabila Indonesia mengikuti langkah Amerika Serikat dan Brasil yang lebih dulu keluar dari Paris Agreement. “Tidak ada gunanya Indonesia bekerja sama dengan Uni Eropa jika tidak menghargai Indonesia, apalagi merugikan Indonesia. Sawit adalah Indonesia dan Indonesia adalah sawit,” katanya.
Tungkot mengatakan prinsip kerja sama internasional adalah saling menguntungkan. Sesuai dengan amanat undang-undang, pemerintah wajib melindungi kepentingan Indonesia dari praktik negara-negara lain. Dalam konteks inilah para menteri bahkan DPR bersikap keras atas perlakuan Uni Eropa atas sawit kita. “Industri sawit adalah industri strategis nasional harus dilindungi dan negara harus hadir,” katanya.
Menurut Tungkot. ada beberapa LSM berkedok lingkungan yang selalu membela kepentingan Eropa untuk menghambat perdagangan sawit Indonesia. Padahal keputusan Komisi Uni Eropa yang menghapuskan sawit sebagai bahan bakar biofuel cenderung mendiskriminasikan komoditas dari negara berkembang.
“Mereka (LSM) itu seharusnya bilang ke Uni Eropa, jangan diskriminatif terhadap sawit. Ingatkan juga Uni Eropa supaya tidak meributkan emisi sawit yang kecil untuk menutupi emisi mereka sangat besar,” kata Tungkot.
Sama seperti Firman, Tungkot juga mendukung pernyataan Menko Maritim yang mengancam keluar dari Paris Agreement. “Jika Indonesia hanya korban Paris Agreement.ya kita keluar seperti dilakukan Brasil dan USA. Sejak awal sebetulnya Indonesia tidak wajib ikut Paris Agreement karena emisi kita masih kecil,” ujarnya.
Peter F Gontha, Staf Khusus Menteri Luar Negeri RI mengatakan, Brasil keluar dari Paris Agreement demi mengembangkan perkebunan tebu untuk produksi biofuel etanol dan meningkatkan produksi daging melalui ternak sapi. Demi mengembangkan perkebunan tebu dalam skala besar dan pembangunan peternakan inilah Brasil membuka hutan Amazon. “Ini bisa menjadi referensi Indonesia,” katanya.
Peter Gontha menduga pelarangan penggunaan minyak sawit untuk biofuel di kawasan Benua Biru ini merupakan upaya Uni Eropa memperbaiki defisit perdagangan terhadap Indonesia. “Pertanyaan kami sekarang adalah mereka mau membanned (melarang) kelapa sawit, apakah mereka mencoba menurunkan atau melakukan diskriminasi agar neraca dagang kita akan berubah juga” katanya.
Peter merinci nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa pada 2018 lalu mencapai USD17.1 miliar, sedangkan impor sebesar USD14,1 miliar. Dengan demikian, Indonesia mengantongi surplus perdagangan terhadap Uni Eropa.
Mengutip data Kementerian Perdagangan (Kemendag), total perdagangan kedua negara mencapai USD23,6 miliar pada periode Januari-September 2018. Jumlah itu meningkat 10,09% dibanding periode sama tahun 2017. Kemendag juga mencatat selama lima tahun terakhir Indonesia mengalami surplus perdagangan terhadap Uni Eropa.
Sumber: Harian Seputar Indonesia