Warga memasukkan paket bantuan sembako Presiden ke dalam gerobak untuk didistribusikan di Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta, Rabu (14/10/2020). Pemerintah telah menggelontorkan dana sebesar Rp203,9 triliun untuk perlindungan sosial, klaster perlindungan sosial, yang direalisasikan melalui berbagai program dengan tujuan meringankan beban ekonomi masyarakat akibat pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

JAKARTA – Tas jinjing berukuran 35×45 sentimeter berwarna merah putih belakangan ‘naik daun’. Sebagian masyarakat mendambakan jinjingan tersebut selama pandemi covid-19. Bukan sembarang tas jinjing. Tas yang diharap adalah tas bertuliskan “Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19”. Biasanya tas ini berisikan berbagai jenis barang kebutuhan pokok. Beras, minyak goreng, sarden, mi instan, hingga biskuit biasanya ada di dalam tas itu.

Kementerian Sosial menyatakan, semua barang dalam tas jinjing bernilai Rp270.000, sedangkan pengadaan tas jinjing dan distribusinya dipatok Rp30.000.

Tas jinjing itu masuk dalam program bansos pandemi covid-19 dan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dengan  pagu anggaran Rp695,2 triliun. Dari situ, pemerintah menyisihkan Rp234,33  triliun sebagai jaring pengaman sosial untuk melindungi masyarakat dari pagebluk.

Dari maraknya tas jinjing dengan isinya, wajar jika kita berpikir, apakah pengadaan bansos mendongkrak kinerja para pelaku usaha yang memproduksi barang-barang kebutuhan pokok terkait?

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) mengakui ada pengaruh bansos dengan permintaan produk makanan, seperti ikan kaleng dan mi instan. Namun, Ketua Umum Gapmmi Adhi Lukman mengaku, bansos tak berpengaruh signifikan menahan laju penurunan permintaan industri makanan dan minuman.

“Tidak langsung (berpengaruh .red). Kalau tunai dan masyarakat kan bisa beli di toko, maka mekanisme pasar akan mendorong perputaran ekonomi,” urai Adhi Lukman kepada Validnews di Jakarta, Senin (14/12).

Uraian Adhi diperkuat catatan Badan Pusat Statistik (BPS). Badan mencatat, selama pandemi pertumbuhan industri makanan dan minuman memang sempat terperosok. Namun, berangsur-angsur mulai bangkit kembali.

Pada kuartal I/2020 industri tersebut hanya mampu tumbuh 3,49% (yoy). Lalu, kembali turun pada kuartal II/2020 menjadi 0,22% (yoy) .Teranyar, naik sedikit menjadi 0,66% (yoy) pada kuartal III/2020.

Permintaan Ikan Kaleng
Salah satu yang disertakan dalam bansos adalah ikan kaleng. Rupanya, pengadaan bansos cukup bisa menjadi penyambung napas industri pengalengan ikan. Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) mencatat, permintaan ikan kaleng sempat turun hingga 30% terimbas pandemi. Kemudian menjelang Ramadan, volume produksi meningkat kembali. Eksekusi program bansos menjadi angin segar. Saat itu, harga yang ditawarkan oleh vendor masih dalam taraf normal, belum seperti baru-baru ini saat vendor meminta harga murah dari produsen.

“Sehingga terungkit sedikit, kami mulai naik lagi, kalau average itu berada di posisi 50–60% dari kapasitas,” kata Ketua Harian Apiki Ady Surya kepada Validnews di Jakarta, Selasa (15/12).

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR pada Selasa (8/9) lalu, Ady sempat menghitung stok produk ikan kaleng. Pada April, produksi mencapai 25–30 juta kaleng. Begitu program bansos berjalan, stok yang disimpan Apiki habis semua pada pertengahan Mei 2020.

“Jadi kita kalang kabut,” ujar Ady.

Permintaan dari vendor untuk bansos pun bermacam-macam jumlahnya. Kisarannya dari ratusan ribu kaleng hingga puluhan juta kaleng. “Kita kaget, kok bisa beda-beda gini, ya? Akhirnya terjadilah negosiasi masing-masing (perusahaan.red),” urai Ady.

Banjir permintaan tak membuat kendala produksi hilang. Selama pandemi, pabrik mau tidak mau mesti menerapkan social distancing. Paling tidak pabrik hanya terisi 60% karyawan. Ady terpaksa memberlakukan sistem gilir untuk jam kerja.

Hambatan lain yang mesti dihadapi adalah harga bahan baku yang tiba-tiba melonjak. Bahan baku ikan kaleng awalnya Rp5.000–7.000 per kilogram. Belakangan naik sampai Rp11.000 per kilogram. Intervensi pemerintah, diharapkan Apiki bisa mengganjal kenaikan harga.

Apiki juga mencatat, kebutuhan ikan kaleng untuk bansos tak pernah terdefinisikan jelas. Pemerintah tak terbuka mengurai kebutuhan riil kepada asosiasi.

“Jadi kami tahu hanya dari vendor atau broker, karena berlapis juga rupanya,” papar Ady.

Dia menambahkan, asosiasi juga membutuhkan keterbukaan biaya yang dimiliki pemerintah agar pelaku usaha dapat menyesuaikan kriteria ikan kaleng yang dibutuhkan pemerintah. Ady juga berharap, bansos tetap menggunakan sembako. Menurutnya jika bansos sembako khususnya ikan kaleng dapat mendukung gizi masyarakat dan daya tahan terhadap menghadapi pandemi.

Meleset Di Minyak Goreng
Angin segar di industri ikan kaleng, tak dirasa oleh pengusaha minyak goreng. Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengaku, meski ada dalam line up bantuan, bansos tidak memberi dampak signifikan pada penjualan minyak goreng secara nasional.

GIMNI mencatat, konsumsi tahun ini—yang tergambar dari penjualan minyak goreng domestik—menurun 41% dari proyeksi awal. Hitungan tersebut merupakan data khusus penjualan minyak goreng melalui pasar tradisional.

Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga menuturkan, awalnya, GIMNI mematok penjualan minyak goreng di pasar tradisional sebanyak 4,04 juta ton sepanjang tahun ini. Namun karena pandemi, proyeksi menjadi turun ke angka 2,38 juta ton.

Penjualan minyak goreng melalui pasar ritel modern juga terpantau turun 6% dari rencana awal penjualan. Di proyeksi, akan ada 1,23 juta ton penjualan. Namun, tercatat hanya 1,16 juta ton yang laku.

“Bantuan pemerintah itu tidak begitu jelas kok, tidak signifikan mendukung. Ya mungkin juga bantuan pemerintah itu terbatas kan, tidak bisa dijadikan patokan,” ujar Sahat via telepon dengan Validnews di Jakarta, Selasa (15/12).

Meski demikian, Sahat mengamini, bansos setidaknya turut menahan laju penurunan penjualan yang lebih drastis. “Kalau tanpa bansos itu, ini (penjualan) drop besar saya kira. Ada lah pengaruhnya sedikit. Kalau itu (bansos) enggak terjadi, drop-nya mungkin bisa 50%,” sambung Sahat.

Di sisi lain, Sahat mengusulkan, agar pemerintah membeli produk untuk bansos melalui distributor alih-alih membeli langsung ke produsen minyak goreng. Dengan cara itu, Sahat meyakini pemerintah dapat menekan biaya distribusi karena keberadaan distributor lebih tersebar merata dibandingkan lokasi pabrik.

Dia meyakini, harga beli produk untuk bansos, termasuk minyak goreng di tingkat distributor juga tidak kalah ekonomis dengan pabrik. Urusan keekonomisan harga dapat tercapai dari tawar menawar, dan berkurangnya biaya angkut.

Serap Tenaga Kerja
Yang juga merasakan angin segar, adalah pengadaan goodie bag alias tas jinjing bansos, Kementerian Sosial menggandeng PT Sri Rejeki Isman (Tbk) atau Sritex, perusahaan berbasis di Sukoharjo yang kemudian memberdayakan mitra dengan melibatkan sekitar 30.000 pekerja.

“Kami ingin memberdayakan tenaga kerja dengan melibatkan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di wilayah Soloraya. Karena itu, kami memercayakan pembuatan tas bansos sembako sebanyak 1,9 juta tas kepada PT Sritex dan mitra kerjanya,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Hartono Laras dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (18/7) lalu.

Hartono mengatakan, ada multiplier effect dengan melibatkan masyarakat terdampak pandemi covid-19 . Efeknya, kondisi perekonomian daerah bangkit di masa sulit seperti sekarang. Dia berharap, program pemberdayaan masyarakat untuk bansos sembako berlanjut hingga pandemi covid-19 hilang.

Presiden Direktur PT Sritex Iwan Setiawan Lukminto menjelaskan, ada 30 mitra kerja yang dilibatkan dalam pembuatan tas bansos pangan Kementerian Sosial. Puluhan mitra kerja itu tersebar di wilayah Soloraya. Iwan memperkirakan jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam pembuatan tas bansos pangan sekitar 30.000 orang.

“Ibarat ikan kena air bakal hidup kembali. Hal ini terobosan baru di sektor industri. Karyawan jangan di-PHK tapi diberi pekerjaan agar mendapat penghasilan,” kata dia.

Efek berturut dari bansos, diakui Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Di hulu, produsen-produsen pengisi bahan pokok mendapat berkah dengan adanya bansos. Keberadaan program tersebut dinilai meningkatkan permintaan dan sekaligus stok bahan-bahan sembako secara otomatis.

“Kalau dari segi dunia usaha memang terjadi peningkatan dari jumlah sembako, artinya juga terjadi peningkatan suplai dari bahan-bahan sembako yang disediakan oleh penyedia-penyedia sembako,” kata Ekonom Indef Media Wahyudi Askar kepada Validnews di Jakarta, Senin (14/12).

Pada saat sama, masih ada hal-hal yang mengusik. Indef mencatat, penyediaan bahan bansos belum merata. Ada kesan dominan, ini hanya melibatkan perusahaan-perusahaan besar tanpa melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Laba hanya dinikmati usaha-usaha segmen menengah dan besar.

Indef mengusulkan, eksekusi bansos dilakukan dengan skema cash transfer. Penyaluran dan tunai ke tiap rumah tangga tepat sasaran, bisa lebih mengangkat perekonomian. Pun, penerima manfaat bisa membelanjakan uangnya sesuai kebutuhan prioritasnya masing-masing. Cara ini, dinilai bisa lebih berimbas ke perekonomian lebih mendasar.

“Sembako bukan ide yang tepat jika dibandingkan cash transfer. Sekarang masyarakat itu belum tentu butuh minyak goreng, belum tentu semuanya butuh beras. Jadi uang sudah jauh lebih efektif sekarang,” tutup Media.

 

Sumber: Validnews.id