Korindo Group berencana ekspansi produksi minyak sawit mentah [crude palm oil/CPO) untuk menjawab peningkatan permintaan pasar domestik. Namun, rencana tersebut terhambat kampanye negatif deforestasi.

Senior Manager Resources Management Division Korindo Luwy Leunufna mengatakan, perseroan belum dapat ekspansi untuk menangkap peluang peningkatan permintaan pasar sejalan dengan kebijakan mandatory B30 dan B50.

B30 adalah campuran biodiesel sebanyak 30% (B30) dalam bahan bakar minyak jenis Solar.

“Kami moratorium pembukaan kebun plasma, karena ada kampanye negatif deforestasi,” ujarnya katanya, Senin (9/9).

Sebenarnya, perseroan berencana membangun kebun plasma untuk memenuhi imbauan pemerintah agar perusahaan inti mengembangkan kebun plasma sebesar 20%. “Kalau kami bisa membangun 20% saja, itu ekuivalen 10%-15% dari total produksi CPO kami saat ini.”

Luwy berujar, lebih dari 90% dari total produksi CPO perseroan didistribusikan di pasar domestik. Menurutnya, pasar domestik masih lebih menjanjikan daripada pasar nontradisional seperti Oseania. Sementara itu, utilitas pabrik CPO perseroan masih di posisi 80% hingga semester 1/2019.

Luwy mengutarakan, kampanye negatif kepada perseroan membuat investasi baru ke daerah Papua tertahan. Bahkan, beberapa pelaku industri mempertimbangkan untuk merelokasi pabrik ke luar Papua.

“Itu yang kami sayangkan. Kami berharap besar dengan adanya kehadiran investor baru [di Papua]. Saya yakin, ketika Korindo hadir banyak perubahan yang terjadi [di Papua], apalagi kalau ada perusahaan [baru] lain [yang mendirikan pabrik di Papua],” katanya.

Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga sebelumnya mengutarakan, jika green diesel yang menggunakan 30% minyak nabati (B30) lolos uji tes lapangan pada akhir kuartal HI/2019 dan digunakan pada 2020, PT Pertamina akan membutuhkan 9,5 juta ton minyak sawit untuk pembuatan fatty acid methyl ether (FAME) kelapa sawit pada tahun depan.

Adapun, pengembangan BBN biohidrokarbon dan bioavtur akan menyerap 1,2 juta ton minyak nabati.

Sementara itu, produksi minyak nabati pada 2020 diproyeksi 51,5 juta ton dengan komposisi kebutuhan industri hilir lokal 10 juta ton.

Adapun, ekspor diproyeksi mencapai 37,8 juta ton. Jika pemanfaatan minyak nabati untuk energi diterapkan, imbuhnya, proyeksi ekspor minyak nabati akan terkontrak sekitar 8 juta ton.

“Volume ekspor akan short. Makanya, kita tidak perlu sibuk dengan Eropa [yang hanya menyerap] 6,5 juta ton [minyak nabati]. Kalau mereka tidak mau [menyerap], kita akan pakai domestik,” ujarnya.

Oleh karena itu, Sahat menyampaikan, perlu adanya penanaman kembali pohon-pohon sawit yang produktivitasnya mengalami penurunan.

Hal tersebut lantaran kebutuhan minyak sawit yang terus meningkat, termasuk kebutuhan minyak sawit untuk industri hilir yang diproyeksi akan bertumbuh 38,61 % menjadi 14 juta ton pada 2025.

 

Sumber: Bisnis Indonesia