JAKARTA – Pelaku usaha mengusulkan agar BUMN membuka pelabuhan khusus dan mendirikan tangki CPO dan turunannya di Pakistan dan Rusia agar Indonesia tak bergantung lagi pada pasar Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengatakan langkah itu untuk menyiasati hambatan perdagangan ke sejumlah pasar tradisional CPO dan turunannya, seperti Eropa dan AS yang selama ini meniupkan kampanye hitam maupun mengenakan hambatan tarif.

Adapun menggarap pasar nontradisional yang daya belinya tidak cukup tinggi dapat dilakukan dengan melayani pembelian secara ritel. Langkah itu dapat ditempuh dengan membuka pelabuhan dan mendirikan tangki di negara tujuan.

Selama ini, eksportir mengapalkan CPO dan turunannya dalam volume besar hingga di atas 1.000 ton. Jika mendirikan tangki di negara tujuan, eksportir dapat melayani pembelian dalam volume puluhan atau ratusan ton.

“Kami harapkan yang bikin perusahaan pemerintah (BUMN). Bukan swasta enggak bisa. Kalau pemerintah yang punya, aman, tidak memihak,” kata Sahat, Jumat (9/6/2017).

Dengan melayani pembelian secara ritel pula, lanjut dia, eksportir tidak perlu mengurus letter of credit (L/C) karena menerima pembayaran secara tunai dari importir.

Sahat yakin cara itu akan mampu menggandakan ekspor CPO dan turunannya ke Pakistan dan Rusia. Data DMSI menyebutkan volume pengapalan ke kedua negara itu masing-masing 1,2 juta ton dan 350.000 ton.

Dia memberi gambaran, di Pakistan setidaknya perlu didirikan tangki berkapasitas 300.000 ton dengan nilai investasi US$25 juta.

“Daripada kita pusing terus sama AS dan Eropa,” ujarnya.

National Biodiesel Board Fair Trade Coalition yang terdiri atas Dewan Biodiesel AS ditambah produsen biodiesel setempat mengajukan petisi antidumping dan antisubsidi kepada Departemen Perdagangan AS. Biodiesel asal Indonesia terancam bea masuk antidumping (BMAD) dan antisubsidi jika petisi itu disetujui pemerintah AS.

Sebelumnya pada 2012, Environmental Protection Agency (EPA) AS menuding industri kelapa sawit di Indonesia tidak berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca karena pabrik-pabrik pengolahan CPO yang ada tidak dilengkapi dengan alat penangkap gas metana.

Uni Eropa juga sejak 2013 mengutip BMAD terhadap biodiesel Indonesia. Baru-baru ini, parlemen UE meloloskan resolusi yang menyebutkan industri kelapa sawit sebagai penyebab utama deforestasi.

Sumber: Bisnis.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *