JAKARTA- Ekspor minyak sawit nasional sepanjang 2019 mencapai US$ 19 miliar, atau turun 17,39% dari 2018 yang sebesar US$ 23 miliar. Harga minyak sawit di pasar internasional yang relatif rendah membuat ekspor sawit secara nilai turun signifikan, meskipun secara volume ekspor naik 4,21 % yakni dari 34,71 juta ton pada 2018 menjadi 36,17 juta ton pada 2019. Tahun ini, kinerja ekspor diharapkan lebih baik seiring realisasi program mandatori pencampuran biodiesel hingga 30% (B30) secara penuh yang diyakini mendongkrak harga minyak sawit di pasar global.

Dalam catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), produksi minyak sawit nasional sepan-jang 2019 mencapai 52,18 juta ton atau meningkat hampir 10% dari 2018 yang sebesar 47.44 juta ton. Produksi tersebut termasuk paling tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Konsumsi domestik pada 2019 mencapai 16,67 juta ton atau naik 23,57% dari 2018 sebesar 13,49 juta ton. Pada 2019, konsumsi biodiesel di pasar domestik naik 49%, pangan naik 14%, dan oleokimia naik 9%. Stok akhir 2019 pada posisi 4,59 juta ton dan akhir 2018 sebesar 3,26 juta ton.

Sementara itu, volume ekspor minyak sawit sepanjang 2019 yang sebesar 36,17 juta ton terdiri atas minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebesar 7,06 juta ton (naik 7,62%) dan produk hilir 29,11 juta ton (naik 3,45%). Destinasi utama ekspor produk minyak sawit 2019 selain oleokimia dan biodiesel adalah Tiongkok (6 juta ton), India (4,80 juta ton), Uni Eropa (4,60 juta ton). Khusus untuk produk oleokimia dan biodiesel, ekspor terbesar adalah ke Tiongkok (825 ribu ton) dan diikuti UE (513 ribu ton). Ekspor minyak sawit ke Afrika yang naik 11% yakni dari 2,60 juta ton pada 2018 menjadi 2,90 juta ton dan menunjukkan tren meningkat dari tahun ke tahun dan hal ini memberikan sinyal positif bagi pasar produk minyak sawit Indonesia. Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menjelaskan, 2019 merupakan tahun yang penuh tantangan bagi industri sawit Indonesia. Rencana implementasi Renewable Energy Directived (RED) II oleh Uni Eropa (UE) yang menghapuskan penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku bioidiesel, perbedaan tarif impor produk minyak sawit Indonesia ke India, kemarau yang berkepanjangan, perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, serta harga CPO yang terus menurun merupakan tantangan utama yang dihadapi industri sawit hampir sepanjang 2019. “Perang dagang AS dan Tiongkok menyebabkan ekspor kedelai AS ke Tiongkok terkendala sehingga petani AS yang biasanya memasok dalam jumlah besar ke Tiongkok harus mencari pasar baru yang menyebabkan harga oilseed dan juga minyak nabati tertekan,” ungkap dia di Jakarta, Senin (3/2).

Menurut Joko, hal yang menarik pada 2019, tepatnya pada 16 Agustus 2019, adalah Presiden Jokowi menyampaikan dalam pidato kenegaraannya bahwa Indonesia akan lebih banyak mengkonsumsi minyak sawit untuk keperluan dalam negeri, terutama untuk biofuel. Dampaknya, rata-rata harga CPO KPBN (PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara) terus melonjak menjadi US$ 483 per ton, US$ 497 per ton, US$ 582 per ton, dan US$ 651 per ton pada September-Desember 2019. \’Tahun 2019 ditutup dengan harga yang melonjak di atas US$ 800 per ton CIF Rotterdam dan penyamaan tarif impor minyak sawit Indonesia di India. Dan akhir 2019 mulai dipersiapkan pelaksanaan implementasi B30 yang membuat cemas im-prortir terkait dengan kemungkinan turunnya ketersediaan minyak sawit Indonesia untuk ekspor,” jelas dia.

Harapan Membaik

Joko Supriyono meyakini kinerja industri sawit nasional tahun ini berpeluang membaik. Sebab, memasuki 2020, kondisi iklim membaik dan harga cukup tinggi. Menurut BMKG, iklim tahun ini akan normal dan lebih baik dari 2019, musim kemarau akan dimulai pada April-Mei. Apalagi, komitmen pemerintah untuk mengimplementasi B30 pada 2020 menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia sangat serius dan dampaknya akan sangat berpengaruh terhadap perdagangan minyak nabati dunia dan perdagangan minyak di dalam negeri. “Kebutuhan sawit dalam negeri tahun ini diperkirakan 8,30 juta ton untuk biodiesel yang mungkin berpengaruh pada ketersediaan produk minyak sawit untuk ekspor,” ungkap Joko Supriyono.

Joko mengakui, kondisi ekonomi dunia tahun ini masih belum menentu, hal itu mengingat situasi politik di Timur Tengah yang masih panas, perang dagang AS-Tiongkok yang belum berakhir, dan masih adanya tuntutan sustainability di UE. “Namun dengan peningkatan penggunaan biofuel di dalam negeri, semakin banyaknya perusahaan yang bersertifikasi minyak sawit lestari Indonesia (ISPO), dan terbukanya tujuan-tujuan ekspor baru akan lebih menjamin pasar minyak sawit Indonesia di pasar global. Hal ini membuat kami tetap optimistis pada 2020 industri sawit Indonesia tetap memiliki prospek yang baik,” ungkap dia.

Dengan adanya tantangan-tantangan peluang pasar ekspor maupun domestik dalam negeri serta adanya iklim usaha yang lebih berpihak kepada peningkatan investasi maka program kerja seluruh stakeholder sawit tahun ini, menurut Joko, perlu difokuskan pada peningkatan produktivitas baik melalui perbaikan teknik produksi maupun replanting dan mendorong percepatan implementasi sustainability /ISPO. “Selain itu, mendorong pengembangan ekspor terutama di negara tujuan ekspor baru dan penanganan berbagai hambatan perdagangan di pasar global, meningkatkan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap minyak sawit dan produk turunannya serta memperluas dan mengembangkan kampanye positif sawit yang efektif, baik di dalam negeri maupun di berbagai negara tujuan ekspor utama,” jelas Joko Supriyono.

Dalam kesempatan itu, Joko menjelaskan, Virus Korona yang menyebar dan meluas di Tiongkok juga berpotensi menghambat ekspor minyak sawit Indonesia ke Tiongkok. Karena itu, bisa jadi pada tahun ini kinerja ekspor sawit nasional akan melambat. Gapki meyakini tidak hanya ekspor sawit saja yang terpengaruh Virus Korona tapi juga komoditas lain. “Harapan kami wabah korona ini hanya sementara sehingga ekspor sawit bisa kembali bangkit dan bergairah. Karena dengan adanya Virus Korona semua aktivitas ekspor ke Tiongkok terhenti sementara,” ujar dia.

 

Sumber: Investor Daily Indoensia