JAKARTA. Kebijakan Amerika Serikat (AS) yang melunak terhadap Uni Eropa (UE) atas perang dagang menghasilkan mestinya bisa menjadi peluang bagi Indonesia.

Salah satunya adalah kebijakan UE akan meningkatkan impor kedelai (soybean) dari AS. Sebaliknya, kebijakan UE menetapkan tarif bea masuk 0% untuk impor produk bahan baku minyak nabati tersebut.

Jika ini lancar, ini bisa berdampak pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke Benua Biru. Selama ini, produk minyak sawit banyak digunakan untuk bahan baku minyak nabati. Apalagi, harga minyak sawit lebih murah ketimbang bahan baku minyak nabati lainnya seperti bunga matahari, rapeseed atau canola yang diproduksi Eropa.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono mengatakan, peningkatan ekspor kedelai ke Eropa bisa menekan ekspor Crude palm oil (CPO). Apalagi selama ini, ekspor CPO dan turunannya tercatat turun 12% di semester I 2018 menjadi 2,39 juta ton. “Kesepakatan peningkatan impor soybean dari AS, saya prediksi akan mempengaruhi harga minyak nabati dunia,”ujarnya kepada KONTAN, Ahad (29/7).

Namun Indonesia perlu mendalami potensi peningkatan impor soybean oleh EU itu. Antara lain yang harus dipelajari adalah kemampuan soybean menggantikan penurunan impor soybean dari China.

Berdasarkan data Commodity Market Outlook (CMO), pada musim 2017/2018, China diperkirakan mengimpor kedelai sebanyak 95 juta ton, naik 2,6% dari musim sebelumnya sebesar 92,5 juta ton.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, kebijakan baru peningkatan ekspor kedelai AS ke Eropa dengan tarif bea masuk 0% akan berdampak pada ekspor CPO dan turunnya.

Kendati demikian, ia menilai dampak yang timbul tidak signikan. Apalagi, pembelian kedelai tidak selalu digunakan untuk menjadi minyak kedelai. “Saya kira yang utama dalam pembelian soybean itu adalah proteinnya, dan minyak soybean hanya hasil samping saja,” terang Sahat.

Di samping itu, jika Eropa meningkatkan pembelian kedelai dari AS, hukum pasar akan berlaku, harga kedelai akan meningkat, karena permintaan tinggi. Otomatis kondisi ini menjadi peluang positif bagi minyak sawit Indonesia, karena harganya lebih murah.

Sebagai contoh, untuk produk kosmetik, bahan bakunya jauh lebih murah bila gunakan sawit dari pada kedelai.

Selain itu, dari sisi fungsi, minyak sawit tidak akan mudah dihilangkan mengingat karakteristik minyak nabati yang berbeda-beda. Untuk kebutuhan makanan yang menggunakan solid-fat misalnya, fungsi sawit tetap tak dapat dihilangkan.

“Kalau diganti dengan soft-oils, seperti soybean, rapeseed oil atau canola, maka minyak tersebut perlu hydrogenasi, dan ini akan menimbulkan trans-fatty acids yang sudah dilarang dipakai dalam makanan. Jadi di sektor ini sawit tidak akan dapat dihilangkan,” jelasnya.

Konsumsi domestik

Untuk mengantisipasi dalam pak lanjutan dari pening-katakan ekspor kedelai AS ke Uni Eropa, maka peningkatkan konsumsi minyak sawit di pasar domestik perlu segera direalisasikan. Pasalnya, Sahat bilang pemrerintah tidak boleh lengah. Seperti program perluasan penggunaan campuran biodiesel 20% (B20) terhadap solar harus direalisasikan untuk mesin diesel Public Service Obligation (PSO) maupun non PSO.

Malah, ia menyarakan agar penggunaan biodiesel di non PSO tak perlu disubsidi. Supaya Indonesia tak akan menghadapi tuduhan subsidi dan dumping price dari AS dan UE sehingga tidak menghambar ekspor.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan peningkatan ekspor kedelai AS ke Eropa tak serta merta berdampak negatif pada ekspor CPO. Karena belum tentu, konsumen di Eropa suka dengan bahan baku minyak nabati dari kedelai. “Apalagi konsumen di Eropa itu sangat ketat dalam hal makanan, khususnya untuk masalah kesehatan, “ucapnya.

Sementara kalau Eropa menggunakan kedelai untuk bahan baku biofuel, maka butuh biaya yang sangat besar, sementara harga minyaksawitjauh lebih murah.

Lidya Yuniartha Panjaitan

 

Sumber: Harian Kontan