Ekspor minyak sawit nasional ke Uni Eropa (UE) pada Mei 2019 hanya mencapai 302.160 ton, atau turun 4% dari April 2019 yang masih sebesar 315.240 ton. Kebijakan anti sawit (Delegated Act RED II) yang diadopsi UE telah ikut membangun sentimen negatif pasar minyak sawit RI di Eropa sehingga permintaan komoditas tersebut di Benua Biru itu pun melemah. Sentimen regulasi dari negara tujuan ekspor, khususnya UE, perlu diantisipasi Pemerintah Indonesia dengan meningkatkan serapan pasar domestik di antaranya dengan mengakselerasi program biodiesel 30% (B30).

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono mengatakan, penurunan kinerja ekspor minyak sawit nasional ke pasar UE sebenarnya telah terjadi sejak Maret 2019 atau sejak UE mengadopsi Delegated Act RED II. Dalam data yang diolah Gapki, pada Maret 2019 ekspor minyak sawit RI ke UE masih 498.240 ton, namun pada April turun 37% menjadi 315.240 ton, dan pada Mei turun 4% menjadi 302.160 ton. “Kebijakan Delegated ActRED IIyang diadopsi UE tersebut tidak dapat dipungkiri telah ikut membangun sentimen negatif pasar minyak sawit RI di Eropa. Ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) dan turunannya ke Benua Biru itu terus tergerus. Artinya, regulasi negara tujuan ekspor telah menjadi hambatan dagang,” kata Mukti di Jakarta, Senin (15/7).

Mukti Sardjono menjelaskan, secara umum pasar ekspor minyak sawit Indonesia pada April-Mei 2019 memang tergerus oleh sentimen regulasi di negera tujuan ekspor. Selain di UE, sentimen yang sama juga terjadi di India yang menaikkan tarif bea masuk minyak sawit sampai pada batas maksimum. Malaysia sebagai penghasil minyak sawit terbesar kedua mengambil langkah sigap menghadapi regulasi India dengan memanfaatkan perjanjian dagang berupa Comprehensive Economic Cooperation Agreement (CECA) yang telah ditandatangani sejak 2011 dengan perundingan lanjutan di Free Trade Agreement menghasilkan diskon bea masuk impor refined products yang lebih rendah dari bea masuk yang dikenakan kepada Indonesia. Tarif bea masuk refined product dari Malaysia 45% dari tarif berlaku 54%.

Alhasil, dari diskon tarif bea masuk yang dinikmati Malaysia, pasar minyak sawit Indonesia ke India kian tergerus, pasar India didominasi oleh Malaysia. Ekspor minyak sawit Indonesia ke India pada Februari 2019 masih 516.530 ton, namun pada Maret turun menjadi 194.410 ton dan pada April makin turun menjadi 185.550 ton. “Menyikapi hal ini, Pemerintah Indonesia diharapkan dapat segera mengakselerasi kerja sama ekonomi dengan India untuk pemberlakuan tarif impor yang sama, sehingga Indonesia dapat berkompetensi memeriahkan pasar minyak sawit India,” jelas Mukti Sardjono.

Dalam catatan Gapki, ekspor minyak sawit nasional (CPO dan turunan, oleokimia, dan biodiesel) pada April 2019 turun 18% dari Maret 2019 yakni dari 2,96 juta ton menjadi 2,44 juta ton. Ekspor pada Mei mulai merangkak naik tetap masih di bawah ekspektasi. Pada Mei 2019, ekspor minyak sawit nasional mencapai 2,79 juta ton atau meningkat 14% dari realisasi April 2019 yang sebesar 2,44 juta ton. Sedangkan total ekspor CPO dan turunannya (tidak termasuk oleokimia dan biodiesel) pada April 2019 turun 27% atau dari 2,76 juta ton pada Maret menjadi 2,01 juta ton pada April, sedangkan pada Mei mencapai 2,40 juta ton atau meningkat 18% dari bulan sebelumnya. “Melemahnya pasar ekspor minyak sawit Indonesia akibat beberapa negara tujuan ekspor utama memberlakukan regulasi yang sudah masuk dalam kategori hambatan dagang tentu menjadi suatu pekerjaan rumah bagi industri sawit nasional,” kata Mukti.

Pasar utama ekspor lain yang juga mengalami dinamika adalah Tiongkok yang pada April 2019 masih membukukan kenaikan impor sebesar 41% dibanding Maret (dari 353.460 ton menjadi 499.570 ton) namun pada Mei melorot 18% (dari 499.570 ton menjadi 410.560 ton). Hal ini juga diikuti oleh Bangladesh. Di sisi lain, penyerapan biodiesel di dalam negeri pada April 2019 hanya mampu mencapai 516 ribu ton atau terkikis 2% dari bulan sebelumnya. Pada Mei 2019, serapan biodiesel menunjukkan progres yang positif yaitu mencapai 557 ribu ton atau terkerek 8% dibandingkan April.

Tingkatkan Serapan Domestik

Menurut Mukti, dengan melihat dinamika pasar global yang terus bergejolak terutama akibat sentimen regulasi dari negara tujuan ekspor dan dikombinasi dengan cukup tingginya stok di Malaysia dan Indonesia maka Pemerintah Indonesia diharapkan dapat segera mengakselerasi implementasi B30 segera setelah road test/ uji coba kendaraan selesai dilakukan pada Oktober nanti. Demikian juga PLN yang semestinya dapat segera merealiasikan penggunaan minyak sawit untuk pembangkit listrik.

Dia menuturkan, apabila program penyerapan dalam negeri dapat berjalan maksimal, yakni B30 menyerap sekitar 9 juta ton minyak sawir dan PLN sekitar 3 juta ton, maka akan meningkatkan serapan pasar domestik dan mengurangi dampak tingginya stok. “Pada saat yang sama Indonesia dapat mengurangi impor minyak bumi dan tidak perlu bergantung sepenuhnya kepada pasar global, khususnya Eropa,” jelas Mukti. Pada saat ini juga adalah waktu yang tepat untuk mempercepat program peremajaan kebun sawit (replanting) untuk menjaga keseimbangan stok. Replanting akan mengurangi produksi untuk beberapa tahun ke depan tapi Indonesia akan memperbaiki produktivitas dan efisiensi dalam jangka panjang.

Produksi minyak sawit pada April 2019 dan Mei 2019 menunjukkan tren kenaikan. Produksi April mencapai 4,64 juta ton dan Mei sebesar 4,73 juta ton. Faktor cuaca yang masih baik mendorong kenaikan produksi. Sementara stok minyak sawit Indonesia mulai menumpuk, sampai Mei stok bertengger di level 3,53 juta ton atau naik 11% dari April yang sebesar 3,18 juta ton. Dari sisi harga, sepanjang Mei harga CPO CIF Rotterdam bergerak di kisaran US$ 492,5-535 per metrik ton dengan rata-rata US$ 511,9 per metrik ton.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia