Ekspor minyak sawit nasional pada Maret 2019 mencapai 2,96 juta ton, atau meningkat 3% dari Februari 2019 yang sebesar 2,88 juta ton. Perekonomian yang lesu, khususnya di India, membuat ekspor minyak sawit Indonesia pada Maret 2019 tidak terlalu bergerak signifikan. Pada Maret 2019, ekspor minyak sawit ke India anjlok tajam hingga 62%, yakni dari 516.530 ton pada Februari 2019 menjadi hanya 194.410 ton pada Maret 2019.

Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) mencatat, ekspor minyak sawit nasional pada Maret 2019 meningkat 3% menjadi 2,96 juta ton dari Februari 2019 yang sebanyak 2,88 juta ton. Angka itu mencakup biodiesel, oleokimia, serta minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya. Sementara itu, ekspor khusus CPO dan produk turunannya juga naik tipis, yakni dari 2,77 juta ton pada Februari 2019 menjadi 2,78 juta ton pada Maret 2019. Secara umum, produksi dan ekspor minyak sawit pada triwulan 1-2019 masih bertumbuh. Hanya saja, pertumbuhan itu tidak diikuti perbaikan harga CPO yang signifikan akibat tekanan ekonomi global.

Meski demikian, kata Ketua Umum Gapki Joko Supriyono, industri sawit di Tanah Air tetap optimistis di tengah berbagai tantangan baik dari dalam negeri, luar negeri, dan sentimen pasar, di antaranya langkah pemerintah UE menerapkan kebijakanRED IIyang menghapus penggunaan biodiesel berbasis sawit karena digolongkan berisiko tinggi terhadap deforestasi (Indirect Land Used Change/ ILUC). Sementara di dalam negeri, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mendesak industri untuk melakukan keterbukaan informasi hak guna usaha (HGU).

Meski dalam kekalutan, kata Joko Supriyono, industri sawit terus berperan dalam menambah neraca perdagangan Indonesia yang minus dengan kinerja ekspornya. Pada triwulan 1-2019, kinerja ekspor minyak sawit secara keseluruhan, mencakup biodiesel, oleokimia, serta CPO dan produk turunannya tumbuh 16%, yakni dari 7,84 juta ton pada triwulan 1-2018 menjadi 9,10 juta ton pada triwulan 1-2019. “Hal ini menunjukkan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia masih tetap tumbuh meski masih di bawah harapan,” kata Joko di Jakarta, Rabu (15/5).

Joko Supriyono mengungkapkan, kinerja ekspor minyak sawit Indonesia masih tergerus akibat sentimen RED IIUE. Kondisi itu memperburuk perekonomian di negara tujuan utama yang lesu, khususnya India, yang menyebabkan permintaan minyak sawit di India tertekan signifikan. Selain itu, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang masih berlanjut menimbulkan dampak yang tidak terlalu positif. Perang dagang itu berdampak pada perdagangan kedelai antarkedua negara yang berujung pada penumpukan stok di AS.

Pada Maret 2019, ekspor CPO dan turunannya ke India anjlok tajam hingga 62%, yakni dari 516.530 ton pada Februari 2019 menjadi hanya ke 194.410 ton pada Maret 2019. Perlambatan pertumbuhan ekonomi India yang hampir memasuki ambang krisis menyebabkan berkurangnya permintaan minyak sawit India, baik dari Indonesia maupun Malaysia. Penurunan ekspor juga terjadi ke negara Afrika hingga 38%, Amerika Serikat sekitar 10%, Tiongkok terpangkas 4%, dan UE menurun 2%. “Secara mengejutkan, ekspor minyak sawit ke negara lain-lain meningkat 60% dari bulan sebelumnya. Peningkatan permintaan CPO dan produk turunannya dari Indonesia yang cukup signifikan datang dari Asia, khususnya Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia,” kata Joko.

Produksi Meningkat

Sementara itu, Joko menambahkan, produksi minyak sawit pada Maret 2019 meningkat 11%, yakni dari 3,88 juta ton pada Februari 2019 menjadi 4,31 juta ton pada Maret 2019. Naiknya produksi pada Maret 2019 tergolong normal karena hari kerja yang lebih panjang jika dibandingkan dengan Februari. Dengan produksi yang cukup baik, stok minyak sawit pada Maret masih terjaga dengan baik, yakni 2,43 juta ton, turun 3% dari bulan sebelumnya yang bertengger sekitar 2,50 juta ton.

Di sisi lain, Joko optimistis hingga akhir 2019 ekspor minyak sawit Indonesia masih bertumbuh, setidaknya bakal menyentuh level 36-37 juta ton. Dari sisi produksi, diperkirakan masih dalam siklus normal, naik sekitar 2 juta ton. “Produksi semester pertama biasanya akan lebih rendah dari semester kedua. Dari laporan daerah, seharusnya ini sudah masuk musim kemarau, ternyata kemungkinan mundur bulan depan. Dugaan saya, Lebaran, produksi akan naik,” kata Joko.

Terkait harga CPO global pada Maret 2019, hasil pantauan Gapki menunjukkan, pergerakan di level US$ 510-550 per metrik ton dengan harga rata-rata US$ 528,4 per metrik ton. Harga rata-rata tersebut tergerus 5% dari harga rata-rata Februari yang berkisar US$ 556,50 per metrik ton. “Dari tahun lalu, pergerakan harga memang berkisar di angka itu. Mungkin trennya tidak menurun, tapi naik turunnya segitu-segitu saja. Salah satunya karena kondisi global yang mana tensi antara Tiongkok dan Amerika Serikat ternyata menguat lagi,” kata Joko.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia