Ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil /CPO) dan produk turunannya pada 2018 mencapai 34,71 juta ton. Angka ini meningkat 8% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 32,18 juta ton.

“Di tengah berbagai tekanan negatif terhadap industri sawit, kinerja ekspor minyak sawit dan produk turunannya meningkat 8%,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono dalam konferensi pers di Jakarta kemarin.

Secara persentase, peningkatan paling signifikan dicatatkan oleh biodiesel, yaitu sebesar 851% atau dari 164.000 ton pada 2017, meroket menjadi 1,56 juta ton pada 2018.

“Peningkatan ekspor biodiesel disebabkan Indonesia memenangkan kasus tuduhan antidumping biodiesel oleh Uni Eropa di WTO,” kata Joko.

Peningkatan ekspor juga diikuti oleh produk turunan CPO (refined CPO dan lauric oil ) sebesar 7% atau dari 23,89 juta ton pada 2017 meningkat menjadi 25,46 juta ton pada 2018. Ekspor olechmical juga mencatatkan kenaikan 16% menjadi 1,12 juta ton pada 2018 bila dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 970.000 ton.

Sebaliknya, untuk produk CPO membukukan penurunan sebesar 8% atau dari 7,16 juta ton pada 2017, menurun menjadi 6,56 juta ton pada 2018.

“Penurunan ekspor CPO menunjukkan bahwa industri hilir sawit Indonesia terus berkembang sehingga produk dengan nilai tambah atau produk turunan lebih tinggi ekspornya dibandingkan dengan CPO,” ucapnya.

Sementara menurut pasar atau negara tujuan utama secara tahunan menunjukkan peningkatan. Peningkatan ini terjadi pada beberapa negara seperti China, Bangladesh, Pakistan, dan negara-negara Afrika dan Amerika Serikat.

“2018, China naik 18%, Amerika naik 3%, dan Bangladesh 18%. Pasar lainnya juga meningkat dengan volume ekspor 6,5 juta ton. Meningkatnya pasar ekspor lain berarti kita berhasil mendiversifikasi pasar tidak hanya tergantung pasar-pasar besar,” kata Joko.

Namun, ekspor CPO dan produk turunannya ke beberapa negara mengalami penurunan diantaranya yakni India yang turun 12% dari 7,63 juta ton pada 2017 menjadi 6,71 juta ton, negara-negara di kawasan Timur Tengah yang mengalami penurunan dari 2,12 juta ton pada 2017 menjadi 1,94 juta ton pada 2018, dan Eropa turun 5% dari 5,03 juta ton pada 2017 menjadi 4,78 juta ton pada 2018.

Joko menjelaskan, penurunan ekspor CPO dan produk turunannya ke India disebabkan kebijakan Pemerintah India yang menaikkan bea masuk impor CPO sebesar 44% dan refined products sebesar 54% yang mulai berlaku sejak 1 Maret 2018.

“Pemberlakuan regulasi ini menyebabkan impor minyak sawit India menurun tajam, khususnya di bulan April dan Mei,” papar Joko.

Kendati secara keseluruhan ekspor CPO dan produk turunannya meningkat, namun secara nilai ekspor mengalami penurunan.

Nilai ekspor CPO dan produk turunannya pada 2018 mencapai USD20,54 miliar atau mengalami penurunan sekitar 11% ketimbang 2017 yang mencapai USD22,97 miliar.

Penurunan ini disebabkan harga rata-rata CPO pada 2018 tercatat USD595,5 per metrik ton atau turun 17% dibandingkan harga rata-rata 2017 yang mencapai USD714,3 metrik ton.

“Penurunan harga yang cukup signifikan ini disebabkan beberapa faktor antara lain perang dagang China-AS, daya beli yang lemah karena perlambatan ekonomi di beberapa negara tujuan ekspor dan beberapa regulasi negara tujuan ekspor,” kata Joko.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan, pihaknya mengantisipasi larangan ekspor biodiesel berbasis sawit ke Eropa dengan mengincar pasar Asia.

China dan negara-negara di Asia Tenggara merupakan pasar potensial yang akan disasar. Antisipasi ini dilakukan apabila aturan Renewable Energy Directive II yang dirancang Uni Eropa sah mengategorikan kelapa sawit sebagai komoditas dengan risiko tinggi untuk perubahan lahan atau indirect land use change (ILUC).

“Jika itu dilakukan, maka potensi ekspor ke Eropa bakal turun atau bahkan bisa nol,” kata Paulus.

Ekspor biodiesel sepanjang 2018, menurut Paulus, mencapai 1,6 juta kiloliter, hampir separuhnya ke Eropa. Pada 2018, ekspor biodiesel ke China mencapai 800.000 kiloliter.

“Tahun ini kami harapkan bisa mencapai 1 juta kiloliter,” katanya.

Untuk negara lain, Paulus melihat peluang Malaysia yang berencana mengimplementasikan kebijakan biodiesel 20% pada 2020. Saat ini Malaysia masih menerapkan B10. Ada juga dari Thailand yang berniat melakukan percepatan kebijakan biodiesel dari saat ini masih B5.

Tak hanya pada luar negeri, Paulus juga masih optimistis sektor domestik akan terus berkembang berkat penerapan B20 dan rencana B30 pada 2020. Penerapan kebijakan B20 akan meningkatkan konsumsi dalam negeri mencapai 6,2 juta ton.

Produksi biodiesel 2018 mencapai 5,9 juta ton. Sebesar 4,3 juta digunakan di dalam negeri dan sisanya 1,6 juta ton diekspor. 

Sumber: Okezone.com