JAKARTA-Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) menargetkan nilai ekspor oleokimia tumbuh 20% tahun depan menjadi US$ 5 miliar. Hingga akhir 2018, nilai ekspor produk turunan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) tersebut diperkirakan mencapai US$ 4,17 miliar. Pertumbuhan itu dipicu oleh membaiknya permintaan dari sejumlah negara tujuan ekspor, terutama Afrika, Uni Eropa, Tiongkok, India, Korea Selatan, dan Jepang.

Apolin mencatat, sepanjang Januari-Juni 2018,volume ekspor oleokimia Indonesia mencapai 2,39 juta ton dan hingga akhir tahun ini diproyeksikan 4,79 juta ton. Sepanjang 2017, ekspor oleokimia Indonesia tercatat mencapai 3,60 juta ton. Secara nilai, ekspor oleokimia Indonesia pada 2017 tercatat US$ 3,30 miliar dan sepanjang Januari-Juni 2018 sudah mencapai US$ 2,08 miliar. Apolin memproyeksikan, hingga akhir tahun ini ekspor oleokimia akan menembus US$ 4,17 miliar.

Ketua Umum Apolin Rapolo Hutabarat menjelaskan, dalam tiga tahun terakhir, industri oleokimia nasional menunjukkan pertumbuhan yang positif. Dari sisi volume, rata-rata ekspor tumbuh 10,68% pertahun dan secara nilai tumbuh 19,61% per tahun. Hal tersebut didorong oleh permintaan yang terus naik. “Pada 2019, kami prediksi volume ekspor bisa naik 12% dan secara nilai akan tumbuh 20%. Pertumbuhan nilai ekspor tersebut termasuk ditopang oleh penguatan kurs dolar AS atas rupiah,” kata Rapolo saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (14/11).

Negara tujuan utama ekspor oleokimia Indonesia berturut-turut adalah Uni Eropa, Tiongkok, India, Korea Selatan, dan Jepang. Yang paling menarik saat ini adalah impor oleokimia oleh Afrika yang juga terus bertumbuh seiring dengan peningkatan produksi soap noodle di kawasan tersebut. “Sampai saat ini, belum ada hambatan ekspor. Indonesia masih menjadi pemasok oleokimia berbasis sawit terbesar di dunia. Malaysia saat ini menjadi pesaing kita,” kata Rapolo.

Rapolo mengatakan, industri oleokimia di Indonesia berpeluang terus tumbuh, baik dari sisi kinerja produksi dan pasar maupun investasi. Hanya saja, oleokimia mempunyai pasar dengan ceruk tertentu (niche market). Karena itu, investasi oleokimia tidak seagresif industri pengolahan lainnya karena menyesuaikan pada kebutuhan dan kepastian pasar. “Hal itu karena ramuan produk berbasis oleokimia tiap-tiap industri itu berbeda,” kata Rapolo.

Untuk membangun pabrik oleokimia dibutuhkan setidaknya Rp 40 miliar per ton. Investasi skala ekonomis minimal harus berkapasitas 200 ribu ton per tahun. Saat ini, tercatat ada 19 perusahaan oleokimia di dalam negeri dengan sembilan di antaranya merupakan anggota Apolin. Data Apolin menunjukkan, kesembilan perusahaan tersebut mengoperasikan enam lini produksi, yakni splitting, fatty acid, fatty alcohol, glycerine, methyl esters, dan soap noodle. Sedangkan 10 perusahaan lainnya hanya mengope rasikan lini produksi splitting, fatty acid, fatty alocohol, dan glycerine.

Kapasitas terpasang lini splitting oleh perusahaan anggota Apolin tercatat 1.881.600 ton, ditambah perusahaan nonanggota 1.590.000 ton, total menjadi 3.471.600 ton. Kapasitas fatty acid 3.766.000 ton oleh Apolin dan 710 ribu ton oleh bukan Apolin, total menjadi 4.476.000 ton. Kapasitas fatty alcohol oleh Apolin 2.080.000, bukan Apolin 40 ribu ton, total 2.120.000 ton. Kapasitas glycerine oleh Apolin 854 ribu ton dan bukan Apolin 29.700 ton, sehingga total 883.700 ton. Sedangkan kapasitas methyl esters oleh Apolin 1.933.000 ton dan soap noodle sebanyak 1.838.000 ton.

Didorong Pariwisata

Dia menjelaskan, industri oleokimia menghasilkan nilai tambah tertinggi dari hasil olahan kelapa sawit yakni hingga sebesar 200%. Pasar oleokimia terutama digerakkan oleh sektor pariwisata. “Memang terlihat tidak langsung, tapi bisa dilihat dengan semakin naiknya frekuensi perjalanan, kebutuhan kosmetik, toiletries (perlengkapan mandi, sabun, sampo), dan transportasi naik. Produk ini semua menggunakan bahan baku dan bahan penolong oleokimia,” kata Rapolo.

Selain itu, dia menambahkan, industri oleokimia ditopang dari sisi regulasi pemerintah yang terus mendorong produk-produk ekspor minyak sawit dalam bentuk processed product bernilai tambah. Hal itu untuk industri farmasi, pengeboran minyak, baja, ban dan kosmetika, serta kebutuhan rumah tangga seperti sabun, pasta gigi, dan sampo. “Momentum ini tentu harus kita pertahankan dan tingkatkan melalui kerja sama dengan semua pemangku kepentingan industri sawit nasional. Untuk mempertahankan kinerja pasar-pasar lama serta membuka pasar baru. Permintaan global terhadap produk-produk oleokimia, kami prediksi mengalami pertumbuhan yang positif. Seiring dengan berbagai upaya bersama yang dilakukan oleh pemerintah dan pelaku usaha maupun asosiasi untuk membuka pasar-pasar baru produk olahan minyak sawit Indonesia,” kata Rapolo.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan, sepanjang 2014-2018, pasar industri sawit domestik di luar FAME, bertumbuh 9,43% per tahun, sedangkan ekspor naik 7,94% per tahun. Angka itu mencakup industri refine, fraksionasi, dan modifikasi (RFM), oleokimia, dan RBD Olein. “Tahun depan, kemungkinan domestik hanya tumbuh 5% sedangkan ekspor 4%. Prediksi ini memang konservatif, tapi itu mempertimbangkan adanya trade war rice war,” kata Sahat.

 

Sumber: Investor Daily Indonesia