JAKARTA – Ekspor minyak sawit nasional bisa menembus US$ 30 miliar tahun ini, atau naik 30,61 % dari realisasi 2020 yang mencapai US$ 22,97 miliar. Selain membaiknya harga, kenaikan ekspor tersebut juga dipicu oleh meningkatnya permintaan komoditas sawit di pasar internasional. Rata-rata harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di pasar global pada 2021 diperkirakan berada di kisaran US$ 900-1.000 per ton, sedangkan Indonesia mampu menaikkan volume ekspor di level 36-37 juta ton.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) yang juga Pit Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga mengatakan, pasar ekspor sawit tahun ini akan semakin cerah karena adanya program vaksinasi di beberapa negara, meskipun Covid-19 belum hilang tetapi setidaknya ada harapan angka penyebaran Covid-19 bisa menurun. Dengan adanya penurunan kasus maka pasar ekspor bisa tumbuh positif dan inilah yang menjadi harapan semua pengusaha. “Kami kira ada kenaikan volume ekspor sawit 8% tahun ini menjadi sekitar 36 juta ton dari 2020 yang mencapai 34 juta ton. Secara nilai juga naik, dari US$ 22,97 miliar pada 2020, kami proyeksikan mencapai US$ 30 miliar pada 2021,” kata Sahat, kemarin.

Menurut Sahat, jenis produk sawit yang mengalami pertumbuhan ekspor adalah produk hilir sawit. Ekspor sawit Indonesia tahun ini memiliki komposisi 76% berupa produk hilir/ olahan dan 24% berupa CPO. Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Keuangan yang memberlakukan tarif pungutan ekspor (PE) cukup mempengaruhi perfoma ekspor, produk hulu dikenai tarif PE meningkat sedangkan produk hilir menurun, sehingga banyak pelaku usaha yang bergairah untuk lebih mendorong ekspor produk hilir sawit yang bernilai tambah tinggi. Penundaan program B40 tidak terlalu pengaruh terhadap ekspor sawit karena ekspor tergantung kondisi pasar dan tentunya harga. “Kami perkirakan harga CPO global tahun ini berada di bawah US$ 1.000 per ton tapi di atas US$ 900 per ton,” ungkap Sahat kepada Investor Daily, belum lama ini.

Sahat menjelaskan, pasar ekspor yang paling berpotensi dan masih menjanjikan untuk digenjot volumenya adalah Asia dan Afrika Timur. Pasar ekspor di Afrika Timur sedang berkembang karena kawasan itu umumnya tidak mempunyai tangki penimbunan minyak sawit dan mereka lebih menyukai produk yang sudah di-packing.

Karena pemerintah menurunkan tarif PE untuk produk hilir maka banyak pelaku usaha yang mendorong melakukan pengemasan produk hilir mereka karena sudah bernilai tambah. “Pasar Asia masih sangat menjanjikan dan pasar Afrika Timur memiliki peluang luar biasa terutama untuk produk hilir sawit,” jelas Sahat.

Kendala yang mungkin dihadapi pengusaha dalam mendorong ekspor adalah kontainer. GIMNI pernah menyampaikan ke pemerintah bahwa suatu saat semua kontainer milik Indonesia bisa saja dibawa kembali atau diborong Tiongkok yang memang dikenal sebagai produsen kontainer terbesar di dunia. Solusinya, Indonesia harus mempunyai atau mengoperasikan industri penghasil kontainer yang berkualitas sehingga tidak lagi mengandalkan kontainer impor. “Dengan ekonomi Tiongkok yang begitu besar bisa saja mereka mengambil semua kontainer, hancur sudah pasar Indonesia, ini perlu diantisipasi,” ujar Sahat.

Indonesia harus memanfaatkan peluang naiknya permintaan dan membaiknya harga komoditas untuk memacu ekspor minyak sawit lebih tinggi tahun ini. Upaya tersebut bisa membantu pemerintah dalam mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional yang terdampak pandemi Covid-19. Merujuk data Gabungan Pengusaha kelapa sawit Indonesia (Gapki), komoditas minyak sawit selalu menjadi penyelamat neraca perdagangan atau paling tidak meminimalkan defisit neraca perdagangan nasional.

Pada 2015, neraca dagang RI surplus US$ 7,67 miliar, saat itu ekspor sawit berkontribusi US$ 19,75 miliar. Lalu pada 2016, neraca dagang RI surplus US$ 9,53 miliar dan ekspor sawit menyumbang US$ 19,85 miliar. Pada 2017, neraca dagang RI surplus US$ 11,84 miliar dengan kontribusi ekspor sawit US$ 24,94 miliar. Pada 2018, kontribusi ekspor sawit US$ 23,34 miliar sehingga defisit neraca dagang RI hanya US$ 8,69 miliar. Pun dengan 2019, sawit menyumbang US$ 20,22 miliar sehingga defisit neraca dagang hanya US$ 3,23 miliar. Pada 2020, surplus neraca dagang RI mencapai US$ 21,72 miliar berkat ekspor sawit yang mencapai US$ 22,97 miliar.

Peremajaan Sawit

Pada bagian lain, kendala administratif seperti status lahan petani yang masih berada di kawasan hutan dalam program peremajaan sawit rakyat (PSR) harus segera dituntaskan. Sejak PSR diluncurkan pada 2016, realisasi PSR baru sekitar 196 ribu hektare (ha) padahal pemerintah menargetkan 180 ribu ha setiap tahunnya dan pada tahun lalu terealisasi 94 ribu ha atau 52% dari target sepanjang tahun. PSR bertujuan meningkatkan produktivitas sawit petani di Tanah Air. Wakil Ketua Umum Gapki Kacuk Sumarta mengatakan, kendala administratif tersebut perlu diselesaikan secara cepat karena kendala itu yang paling banyak dihadapi dalam percepatan PSR. “Masalah paling krusial terkait administratif adalah lahan petani yang diindikasi berada dalam kawasan hutan dan masalah ini harus cepat diselesaikan dan dicarikan solusinya,” ungkap Kacuk Sumarta.

Ketua Umum Asosiasi Petani kelapa sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, status hukum lahan perkebunan yang akan diremajakan masih menjadi kendala utama percepatan PSR karena lahan tersebut berada di dalam kawasan hutan. “Tanpa kejelasan status hukum perkebunan maka tidak mungkin memenuhi persyaratan untuk mengikuti program PSR yang sedang dilakukan pemerintah untuk membantu para petani sawit,” kata dia di Jakarta, kemarin. Hal itu mendesak mengingat para petani merupakan pemilik dari sekitar 41% dari total 16,38 juta hektare (ha) lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Dalam kesempatan itu, Sahat Sinaga juga mengatakan, pengusaha mengusulkan kepada pemerintah agar lahan sawit yang diduga masuk kawasan hutan sebaiknya dilepaskan dari hutan. “Dengan begitu, ada jaminan untuk berusaha,” jelas Sahat. Sementara itu, Deputi

Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdhalifah Mahmud mengatakan, kawasan hutan menjadi salah satu permasalahan yang menghambat program PSR Terkait itu, saat ini Kemenko Perekonomian sedang menunggu SOP (standar operasional prosedur) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang sedang menyusun peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat. “Yang penting semangatnya dalam mempercepat program PSR dan semua kendala yang dihadapi akan diatasi perlahan,” ujar dia.

 

 

Sumber: Investor Daily Indonesia