“Ente jual-ane beli” pepatah dari Betawi itu cocok mengambarkan sikap tegas pemerintah menghadapi rencana Uni Eropa melarang pengunaan minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia. Kabinet Kerja menyatakan siap melakukan aksi balasan, memboikot produk asal Benua Biru jika tetap melaksanakan kebijakannya tersebut.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan mendukung wacana memboikot produk Uni Eropa jika mereka bersikap diskriminatif terhadap produk sawit Indonesia.

“Ekspor sawit kita tidak bisa dikurangi. Kalau itu (sampai) dipaksakan, kita juga dapat ambil tindakan mengurangi impor kita dengan Eropa,” tegas JK di Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta, kemarin.

JK menuturkan, sikap tegas pemerintah Indonesia memprotes tindakan Uni Eropa sangat wajar. Sebab masalah sawit menyangkut hajat hidup orang banyak. Diskriminasi Uni Eropa terhadap sawit Indonesia dapat membuat perekonomian 15 juta orang terganggu.

“Kalau mereka terdampak, daya beli akan turun, ekonomi kita di tingkat bawah bisa rusak. Kalau itu terjadi, kita tidak bisa beli barang Eropa juga kan,” cetus JK.

Aturan melarangan penggunaan sawit Indonesia tertuang dalam Delegated Regulation Supplementing Directive 2018/2001 of The EU renewable energy Directive II (RED II). Rancangan itu sudah diajukan ke Komisi Uni Eropa pada 13 Maret 2019.

Dalam draf tersebut, minyak sawit diklasifikasikan sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi terhadap lingkungan. Sedangkan minyak kedelai asal Amerika Serikat (AS) dimasukkan dalam kategori risiko rendah. Parlemen Eropa masih memiliki waktu untuk meninjau rancangan yang diajukan oleh Komisi Eropa tersebut dalam waktu dua bulan sejak diterbitkan.

Wacana memboikot produk Uni Eropa sebelumnya disampaikan Menteri Koordinator Bimaritiman Luhut Binsar Pandjaitan. Menurutnya, pemerintah sudah habis kesabaran menanggapi serangan Eropa terhadap sawit Indonesia. Pemerintah berencana memboikot produk impor asal Benua Biru itu bila bersikap diskriminatif terhadap komoditas andalan ekspor Indonesia tersebut.

Sementara itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent . Guerend pernah menyampaikan bahwa Uni Eropa tidak akan bertindak diskriminatif, terutama terhadap sawit Indonesia.

Menurutnya, standar perkebunan keberlanjutan juga diberlakukan pada sumber bahan biofuel lainnya seperti jagung, hingga kedelai. “Peraturan itu tidak kami kenakan terhadap sawit saja,” tegasnya.

Neraca Dagang Tekor

Pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, bila terjadi saling boikot, bisa terjadi perang dagang.

“Kalau terjadi saling boikot tentu akan merambat ke produk-produk ekspor kita yang lain di luar sawit. Saya kira langkah boikot terlalu jauh untuk dilakukan. Karena opsi-opsi lain yang lebih lunak masih banyak bisa dilakukan seperti menaikkan hambatan tarif atau pun non tarif,” ujar Faisal.

Jika melihat dari sisi neraca perdagangan, Faisal mengungkapkan, Indonesia surplus secara kolektif dari 28 negara anggota Uni Eropa. Meskipun dari tahun ke tahun, surplus cenderung menurun. Surplus perdagangan tersebut sebagian besar disumbangkan oleh perdagangan kelapa sawit dan produk turunannya.

“Kalausawitdilarang masuk ke Uni Eropa dampaknya akan besar terhadap neraca perdagangan kita,” katanya.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, upaya untuk melawan perlakuan diskriminatif Uni Eropa harus dilakukan dengan optimal. Sebab jika sampai produk sawit dilarang akan mempengaruhi kebijakan negara lain.

“Kalau sawit dilarang Eropa, negara lain akan ikut-ikutan, terutama negara sekitar dan mitra dagang Uni Eropa seperti India dan Filiphina,” ungkapnya.

Jika itu terjadi, lanjut Bhima, dampaknya bersikap jangka panjang. Ekspor sawit akan anjlok dan harganya pun akan jatuh.

Sumber: Rakyat Merdeka