Genderang perang terhadap kampanye negatif yang melingkupi industri kelapa sawit nasional terus dikumandangkan. Pascapenerbitan Inpres No. 8/2018, pemerintah kian gencar melakukan evaluasi perizinan demi melawan tudingan bahwa sawit RI adalah penyebab deforestasi.
Inpres No. 8/2018 yang berlaku selama 3 tahun sejak diterbitkan itu salah satunya menginstruksikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi izin kebun sawit yang masuk kawasan hutan.
Di sisi lain, Menteri Pertanian mendapat tugas untuk menyusun dan memverifikasi data dan peta Izin Usaha Perkebunan Kelapa sawit sekaligus Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan Kelapa Sawit.
Adapun, Menteri Agraria dan Tata Ruang bertugas untuk mengevaluasi hak guna usaha (HGU) kebun-kebun kelapa sawit.
Dalam proses identifikasi dan evaluasi ini, pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk kebun sawit ditunda.
Pemerintah pun bergerak. Pada akhir, 2018, Kementerian Pertanian mulai melakukan pendataan di sejumlah titik area perkebunan yang tersebar di Sumatra Utara, Riau, Kalimantan Tengah, dan Papua Barat. “Kita clear kan datanya mengenai kebun yang masuk kawasan |hutan| ada berapa banyak. Bupati dan gubernur kami minta membantu proses untuk mengevaluasi atau melakukan penindakan,” tegas Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ada 542 perusahaan dengan lahan perkebunan mencakup 2,5 juta hektare yang bersinggungan dengan kawasan hutan.
Sementara itu, untuk perkebunan kelapa sawit rakyat, Bambang mengatakan dari lahan seluas 5,6 juta hektare yang disinyalir masuk dalam kawasan hutan ada sekitar 1,7 juta hektare.
Bambang menyadari bahwa sumber dari polemik legalitas lahan ini tidak sepenuhnya kesalahan pelaku usaha. Pemerintah daerah, lanjutnya, juga ikut menyumbang karena inkonsistensinya menentukan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
“Kami [pemerintah] secara terpadu menyelesaikan satu-satu permasalahannya supaya tidak ada kebun kelapasawityang berada di kawasan dalam jangka waktu 3 tahun ke depan. Dengan begitu, semua bisa mengantongi sertifikat ISPO [Indonesia Sustainable Palm Oil] dalam 5 tahun ke depan,” katanya.
Ya, Kementan memang menargetkan semua kebun sawit nasional mengantongi sertifikat ISPO dalam 5 tahun mendatang.
Sampai saat itu, lanjut Bambang, pemerintah tidak akan memberikan sanksi bagi kebun yang belum mendapatkan sertifikat ISPO. Namun setelah itu, kemungkinan pemerintah akan mengenakan sanksi.
“ISPO adalah cara pemerintah menunjukan kedaulatannya di mata internasional supaya kita tidak terus disetir oleh mereka atau dibayangi dengan kampanye negatif.”
Saat ini, baru sekitar 20,48% atau kurang lebih 2,35 juta hektare kebun kelapa sawit nasional yang telah mengantongi sertifikat ISPO.
PASAR BARU
Di sisi lain, pelaku usaha bersama regulator sebaiknya juga mulai mencari peluang pasar baru ke negara-negara yang berada di bumi bagian selatan meliputi Amerika Selatan, Asia, dan Afrika.
Dalam laporan riset Rabobank berjudul Rising African Vegetable Oil Imports in the Next Decade, Emerging Markets Set to Gain, negara-negara Afrika memerlukan tambahan impor minyak nabati sebanyak 3,5 juta ton atau meningkat 33% pada 2030. Salah satu penyebabnya adalah peningkatan populasi yang signifikan.
Analis dan Periset Rabobank Vito. Martielli mengatakan bahwa meski begitu, Afrika mungkin tidak bisa memberikan harga premium seperti yang Uni Eropa lakukan. Selain itu perlu ada bantuan pemerintah untuk membuka pasar di sana lewat skema goverment to goverment.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Mukti Sardjono membenarkan bahwa pasar dengan prospek paling cerah pada 2019 adalah negara di Timur Tengah dan Afrika.
Meskipun demikian, bukan berarti Gapki akan mengurangi fokus untuk mengampanyekan praktik azas berkelanjutan yang telah diterapkan di perkebunan sawit Indonesia ke pasar eksisting. “Negara importir utama lain seperti India dan Pakistan akan tetap kami maintain pasarnya. Uni Eropa dan Amerika Serikat juga terus kami sosialisasikan bahwa CPO Indonesia sudah sustainable.”
China, lanjut Mukti, juga menjadi negara dengan prospek paling cerah terutama untuk permintaan biofuel yang dia pastikan akan meningkat. “Pada 2019 tantangan masih ada, namun prospek lebih baik dari 2018. Apalagi dengan semakin efektifnya pelaksanaan B20, serapan CPO dalam negeri [akan] meningkat.”
Gapki memprediksi bahwa produksi sawit 2019 mencapai 46,5 juta ton, naik dari estimasi produksi pada 2018 yang mencapai 42 juta ton.
Sementara itu, dalam pertemuan Indonesian palm oil Conference ke-14, analis Oil World Thomas Mielke mengatakan bahwa dirinya optimistis harga dan ekspor CPO secara global akan meningkat signifikan pada 2019. Menurutnya, kondisi tersebut salah satunya didukung oleh perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS).
“Impor minyak kedelai dari AS turun drastis karena perang dagang, sedangkan China tetap butuh mengimpor minyak nabati. Di posisi inilah, CPO akan mampu mengisi kekosongan yang ditinggalkan soybean dari AS.”
Thomas memperkirakan, harga CPO global akan naik US$50/ton- US$100/ton dari posisi saat ini yang berkisar di level US$500/ton.
Menurutnya, permintaan yang besar juga akan datang dari India yang selama ini menahan pembelian akibat kenaikan bea masuk impornya. Dia memperkirakan permintaan Negeri Bollywood akan mencapai 9,28 juta ton pada 2019, dari angka 2018, yaitu 8,72 juta ton. “Keuntungan terbesar dari permintaan India akan ditangkap oleh Malaysia, karena ada perjanjian free trade yang membuat bea masuk CPO turun menjadi 40%. Namun, kinerja sektor sawit Malaysia berpotensi terganggu oleh produktivitas tenaga kerjanya yang rendah.”
Ya, aspek berkelanjutan memang kian tidak bisa diabaikan dalam industri agribisnis global. Para pemangku kepentingan di sektor industri kelapa sawit nasional sudah mulai menyadari hal itu dan perlahan mengambil langkah nyata. Mari berharap, semua upaya ini berhasil menambah daya saing kelapa sawit Indonesia di dunia internasional.
Kelapa sawit Si Primadona Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan di sektor perkebunan, karena punya kontribusi besar terhadap kinerja ekspor nonmigas. Tak heran, kinerja produksi dan serapannya terus dipacu.
Sumber: Bisnis Indonesia