Pelaku usaha mengapresiasi keputusan pemerintah yang menempatkan hak guna usaha (HGU) sebagai informasi publik yang dikecualikan sesuai Pasal 6 ayat 2 UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Ketua Bidang Tata Ruang dan Agraria Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono berpendapat, pengecualian HGU termasuk menutup akses berkas SHP ke publik bertujuan untuk menghindari konflik, terutama konflik antara perusahaan serta masyarakat dengan perusahaan.

“Jika semua data HGU bisa diaksespublik, terutama terkait masa berakhirnya, pastinya potensi klaim dari masyarakat
semakin banyak. Begitu juga akses terhadap file SHP harus ditutup karena rawan penyalahgunaan. Konten file SHPbisa dengan mudah diubah jika bisa diakses publik,” kata Eddy di Jakarta kemarin.

Karena itu, keputusan pemerintah mengecualikan HGU dari domain publik harus dihormati semua pihak. Putusan itu tentu ditetapkan melalui banyak pertimbangan, baik dari sisi hukum, jaminan berinvestasi, serta keberlanjutan usaha.

“Jangankan masyarakat, perusahaan penerima HGU tidak mendapat akses file SHP. Kami hanya menerima peta/hard copy atas HGUyangditerbitkan,” katanya.

Gapki, papar Eddy juga mendukung kebijakan satu peta (one map policy). Melalui kebijakan ini setiap tataran pemerintahan akan menggunakan satu peta dasar yang sama sehingga tidak ada lagi tumpang tindih peta. Hanya, Eddy mengingatkan, dalam penerapan kebijakan satu peta tersebut pemerintah tetap mengecualikan akses terhadap data HGU. Hal itu berarti akses terhadap data HGU termasuk kebijakan un tuk tidak membuka file SHP perlu mengikuti aturan Permenko Perekonomian Nomor6/2018.

Sebelumnya, guru besar IPB bidang kebijakan, tata kelola kehutanan, dan sumber daya alam (SDA) Budi Mulyanto mengingatkan agar pemerintah tidak cetoboh dengan membuka seluruh informasi terkait HGU. Mantan Dirjen Penataan Agraria pada Kementerian ATR/BPN itu mengatakan, tidak seluruh data HGU bisa dibuka*ke publik karena ada kepentingan privat yang dilindungi undang-undang.

Data umum mengenai luas dan izin HGU yang telah diberikan pemerintah bisa saja diakses menjadi data publik. “Namun, tidak ebs dan tidak ada perlunya publik mengetahui data privat seperti titik koordinat HGU per usahaan, apalagi sampai meminta semua data terkait dokumen kepemilikan HGU untuk dibuka,” bantahnya.

Menurut Budi, pembatasan itu dilakukan karena negara punya kewajiban untuk melin dungi setiap jenis investasi dan usaha di Indonesia.

Sumber: Harian Seputar Indonesia