Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) optimistis Indonesia akan memenangi gugatan soal sawit di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pemerintah Indonesia melanjutkan gugatan kepada UE ke tahap konsultasi di WTO atas kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE karena dianggap mendiskriminasi produk kelapa sawit Indonesia. Gugatan telah resmi dilayangkan RI ke WTO pada 15 Desember 2019.
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono mendukung langkah Pemerintah Indonesia yang melanjutkan gugatan UE ke tahap konsultasi di WTO. Gapki optimistis terhadap posisi Indonesia yang dinilai kuat sehingga bisa memenangi gugatan terhadap UE di organisasi perdagangan tersebut. “Yang jelas, posisi kita (Indonesia) kuat. Mudah-mudahan dengan mediasi dan tahapan konsultasi, menunjukkan hasil yang positif,” kata Joko di Jakarta, Rabu (8/1).
Joko menuturkan, posisi Indonesia jelas diberatkan dengan adanya aturan pelaksana RED II yang mengatego-rikan minyak kelapa sawit ke dalam komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) atau ber- isiko tinggi. “Sudah jelas bahwa kita keberatan atas perlakuan itu, sehingga kita mengajukan komplain. Ini kan prosesnya sudah berjalan dan tahap konsultasi itu sebenarnya mediasi. Kalau sudah selesai ya bagus, berarti akan lebih cepat,” kata Joko.
Sebelumnya, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan, Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan daftar pertanyaan yang menjadi tuntutan di WTO. Indonesia akan menyelaraskan daftar pertanyaan tersebut satu per satu bersama tim kuasa hukum dan ditargetkan selesai pada 10 Januari 2020. “Dari pertanyaan-pertanyaan itu, kami akan fokus terhadap hal-hal yang sifatnya sebagaimana diamanatkan dalam perjanjian-perjanjian dagang dan fokus ke dalam materi dan substansi kepada apa saja yang dilanggar, yaitu diskriminasi,” kata Jerry.
Kemudian, pada 14 Januari 2020, Indonesia akan memasukan daftar pertanyaan tersebut ke WTO. Selanjutnya, Jerry bersama tim akan terbang ke Jenewa, Swiss, untuk mengikuti proses awal yakni konsultasi dengan UE untuk mendapatkan klarifikasi dan fakta komprehensif pada 28-29 Januri 2020. Konsultasi dengan UE perlu sesegera mungkin dilakukan karena tekanan Benua Biru terhadap komoditas kelapa sawit Indonesia semakin gencar. Dalam hal ini, Indonesia telah mendapat dukungan dari kementerian/lembaga terkait, asosiasi, dan pelaku usaha serta praktisi hukum untuk menghadapi UE ke panel WTO.
Metode Harus Dibantah
Sementara itu, peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus menyampaikan bahwa pemerintah harus bisa membantah metode yang digunakan UE dalam mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia. “Ujungnya pasti isu lingkungan, kita harus bisa menjawab bahwa sawit merupakan energi yang ramah lingkungan. Maka itu kita harus bisa membantah metode yang mereka gunakan dalam mendiskriminasikan sawit, itu penting,” ujar dia seperti dilansir Antara.
Heri mengemukakan dalam kebijakan RED II dan Delegated Regulation UE, minyak kelapa sawit masuk ke dalam kategori komoditas yang memi- liki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi. Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan di UE, termasuk minyak kelapa sawit Indonesia. “Dalam kebijakan UE itu, saya melihat ada hal yang sifatnya berbau politis, soalnya mereka juga punya barang yang bisa subtitusi sawit. Salah satunya mereka punya bunga matahari, kedelai, dan rapeseed,” katanya.
Padahal, minyak nabati yang dihasilkan dari rapeseed maupun minyak nabati lainnya juga memiliki risiko yang tinggi dari sawit. “Mereka hanya sedang berusaha untuk memproteksi sawit, karena produk mereka sebenarnya kalah kompetitif dengan sawit. Kalau saya lihat produk nabati UE harganya mahal dan produktivitasnya juga rendah sementara sawit cukup menjanjikan,” ucapnya.
Karena itu, Heri berharap pemerintah telah mempersiapkan argumen-argumen ilmiah, mulai dari sisi lingkungan hingga ekonomi dalam menghadapi UE untuk kebijakan RED II dan Delegated Regulation UE di WTO. “Peluang menang atau tidak tergantung dari persiapan kita, kita harus mempersiapkan berupa argumen-argumen ilmiah yang dapat dijadikan alat untuk dialog ataupun gugatan,” katanya. Kemendag menyatakan telah menggunakan tim kuasa hukum internasional yang basisnya di Eropa untuk menghadapi UE untuk kebijakan RED II dan Delegated Regulation UE yang dianggap mendiskriminasikan produk kelapa sawit Indonesia di WTO.
Sumber: Investor Daily Indonesia