Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menyayangkan himbauan Kementerian Kesehatan RI untuk mengganti minyak goreng sawit/kelapa dengan minyak nabati lain seperti zaitun, olive oil, dan sunflower, dalam upaya pengendalian hipertensi. Dampak dari himbauan ini adalah impor minyak nabati Indonesia bisa naik sehingga membebani devisa negara.
“Penggunaan minyak nabati lainnya seperti zaitun dan sunflower, maka negara harus impor. Karena tidak diproduksi dalam negeri. Sementara minyak sawit buatan Indonesia sendiri,” ujar Bernard Riedo, Ketua Umum GIMNI, Kamis ( 17 Oktober 2019).
Dari penelusuran redaksi bahwa informasi flyer merujuk kepada Buku Pedoman Pengendalian Hipertensi terbitan tahun 2015. Buku ini diterbitkan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Direktorat Penyakit Tidak Menular.
Ia mengatakan masing-masing minyak nabati mempunyai karakteristik penggunaan yang berbeda satu sama lain. Sehingga tidak tetap disebutkan faktor hipertensi salah satu karena minyak kelapa sawit.
Yang sangat disayangkan, kata Bernard, di saat pemerintah aktif melawan kampanye negatif sawit di luar negeri. Akan tetapi, flyer Kemenkes ini bersifat kontraproduktif. “Malahan dari dalam negeri ada himbauan (Kemenkes) yang tidak sejalan dengan arahan dari pemerintah,” ujar Bernard.
Dalam catatan GIMNI, konsumsi CPO untuk oleofood termasuk minyak goreng diperkirakan 10,072 juta ton. Sementara itu data BPS mencatayt sepanjang Januari-Mei 2019, Indonesia mengimpor sebanyak 61.861 ton minyak goreng dengan nilai US$43,03 juta.
Menyikapi persoalan ini, GIMNI beserta asosiasi sawit lainnya akan mengajukan surat protes kepada Kementerian Kesehatan RI. “Kami akan kirimkan surat kepada Kemenkes bersama asosiasi sawit lainnya,” jelas Bernard.
GIMNI berharap Kementrian Kesehatan RI dapat menjadi bagian untuk bersama-sama melakukan sosialisasi perihal minyak sawit dan manfaatnya bagi kesehatan seluruh masyarakat Indonesia.
Sumber: Sawitindonesia.com