JAKARTA. Pemerintah tengah mengkaji penyesuaian pungutan ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunan yang dikutip oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga merespon positif langkah pemerintah ini. Menurutnya, dengan ada langkah ini, artinya pemerintah mendengar pelaku usaha terkait perkembangan yang ada di pasar.
Meski begitu, Sahat pun meminta supaya pemerintah berhati-hati menetapkan penurunan ekspor ini. Karena, bila keputusan yang diambil salah, maka bisa menimbulkan efek negatif pada Indonesia.
Menurut Sahat, tujuan utama penurunan pungutan ekspor ini adalah untuk meningkatkan ekspor produk hilir sawit. Oleh karena itu, menurutnya, produk yang terbaik untuk diekspor adalah Refined, Bleached, and Deodorized (RBD) Palm Olein dalam bulk dan dalam kemasan.
“Hanya kita terbentur tidak mampu bersaing dengan Malaysia karena pasar yang terbuka Afrika Timur dan Timur Tengah, kita tidak bisa compete ke sana karena levy kita US$ 30 dan US$ 20 per ton,” tutur Sahat kepada Kontan.co.id, Kamis (1/11).
Menurutnya, RBD Palm Olein kemasan yang sebesar US$ 20 per ton sebaiknya diturunkan menjadi US$ 2 per ton, sementara RDB olein bentuk bulk yang pungutan ekspornya sebesar US$ 30 per ton diturunkan menjadi US$ 20 per ton.
“Jangan sampai tidak ada karena levy itu diperlukan karena BPDPKS itu masih butuh dana,” tambah Sahat.
Sementara, untuk pungutan bahan baku seperti CPO tidak perlu diturunkan karena pasar luar lebih senang membeli produk refiner.
Bila nanti keputusan yang diambil pemerintah salah, misalnya pungutan CPO diturunkan sementara pungutan produk turunannya tetap, maka Indonesia justru akan menghidupkan industri hilir luar negeri. Pasalnya, negara tersebut akan memimpin pasar.
Sumber: Kontan.co.id