Agrofarm.co.id-Pengembangan riset produk hilir dan turunan kelapa sawit belum banyak dilakukan di perguruan tinggi. Padahal, semakin hilir produk sawit maka nilai tambah dan profit yang dihasilkan akan semakin tinggi, dan satu hal yang perlu dijaga dan sesuai tuntutan pasar dunia, yaitu menghasilkan minyak sawit itu harus ramah lingkungan( emisi karbon CO2 eq diarahkan semakin rendah).

“Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia dapat berkontribusi lebih besar dalam dan inovasi untuk meningkatkan nilai tambah sawit, baik melalui minyanknya dan demikian pula halnya dengan hasil samping bio-mass sawit yang berlimpah. Pusat riset produk hilir sawit dapat dibangun disini,” tegas Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) saat menjadi pembicara dalam MIPAtalks Series 9 bertemakan Innovation in Palm Oil Industry Makes Indonesia Leads in Fulfilling the Worlds Energy Crisis, Kamis (15 September 2022).

Sahat menjelaskan bahwa peluang pengembangan riset dan inovasi produk hilir sawit masih terbuka. Berdasarkan proyeksi volume ekspor di tahun 2022 , produk hilir mencapai 27 juta ton dan produk Crude Palm Oil (CPO) berjumlah 1,6 juta ton.

Sedangkan pasar sawit di dalam negeri, konsumsi domestik mencapai 20,45 juta ton terdiri dari penggunaan untuk industri makanan/minyak goreng 9,48 juta ton. Pemakaian di segmen non makanan (oleokimia dan gliserin) dan energi masing-masing 2,1 juta ton dan 8,8 juta ton.

Dikatakan Sahat, agar Indonesia dapat menjadi pemimpin sawit dunia dan menjadi price-setter , pengembangan teknologi baru sangat dibutuhkan dapat menciptakan nilai tambah tinggi bagi produk sawit di Indonesia , dan dengan demikian investror bermunculan, sehingga jadi sekitar 65% industri kelapa sawit dapat dikonsumsi di dalam negeri, dan sisanya 35% sebagai bagian. Dengan demikian posisi pasar akan terbalik dari apa yang dicapai sekarang ini, yaitu sekitar 41 % volume produksi sawit itu untuk domestik dan sisanya 59% untuk ekspor.

Ia mengatakan pengembangan sawit ini harus berbasis definisi sawit yang benar, yait untuk bahan pangan minyak sawit itu di definisikan adalah bahan makanan ( tri-glycerida) yang bernutrisi alami tinggi , dan dikembangkan ke arah ” functional products” kepada komponen nutrisi dari sawit. Jangan lagi mempertahankan konsep lama yang sudah 100 tahun berlangsung, yaitu terfokus kepada Trigliserida, sebagai sumber energi saja.

Sahat menjelaskan semakin mengembangkan inovasi produk lebih ke hilir akan mendapatkan nilai tambah sebanyak 6 kali lipat. Semakin ke hilir maka semakin tinggi nilainya. Sebagai contoh, produk derivatif surfaktan nilai tambah sebesar 300 persen. Selanjutnya, produk specialties antara lain kosmetika, parfum, detergen, cat mempunyai nilai tambah mencapai 600 persen.

Sahat juga menjelaskan bahwa FMIPA Universitas Indonesia dapat meneliti lebih detil mengenai teknologi SPOT (Steamless Palm Oil Technology) dan IRU (Impurities Removable Unit) yang mengolah buah sawit menjadi minyak makan bernutrisi tinggi. Minyak sawit yang dihasilkan dari teknologi SPOT dan IRU dikenal SPO (Steamless Palm Oil) dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan CPO.

“FMIPA UI dapat terlibat dalam pengembangan aplikasi produk SPO (Steamless Palm.Oil) untuk functional energy dalam mengatasi malnutrisi dan stunting melalui clinical test – bekerjasama dengan PT.NGE (Nusantara Green Energy),” ungkap dia.

Dede Djuhana, Ph. D, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) menyambut baik usulan Sahat Sinaga dalam rangka mendukung ketaanan pangan nasional melalui sawit. Sebab, Ketahanan pangan menjadi prioritas riset nasional.

“Berkaitan pengembangan riset produk sawit lebih ke hilir, FMIPA UI akan menjadi garda terdepan dalam science. Mungkin kami bagian terkecil dari pengembangan palm oil tapi UI ingin berkontribusi bagi kemajuan industri sawit Indonesia di bidang pangan dan energi,” ujarnya.

Salah satunya rencana FMIPA UI mendirikan Pusat Riset & Inovasi Industri Sawit Nasional untuk mengembangkan riset produk turunan sawit bernilai tambah tinggi yang dapat diaplikasikan bagi masyarakat dan dunia industri.

Prof. Jatna Supriatna, Direktur Lembaga Sains Terapan FMIPA UI, menjelaskan bahwa Indonesia berkontribusi terhadap lebih dari 50 persen produksi minyak sawit dunia. Oleh karena itu, FMIPA UI dapat terlibat baik dari bidang kimia, biologi khususnya berkaitan bio-composting.

“Jadi sekitar 50 paten kelapa sawit, sebagian besar dimiliki oleh negara lain. Padahal, Indonesia produsen terbesar sawit dunia. Hal ini menjadi tantangan bagi kita semua. Saya yakin UI bisa mengembangkan riset sawit karena memiliki sumberdaya dan ilmunya,” kata Jatna. Bantolo