Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mendorong minyak jelantah bisa dimasukan kedalam kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3). Hal ini penting guna mencegah waste cooking oil dipergunakan untuk bahan makanan.

Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI menjelaskan bahwa sejak tahun 2016 telah menyuarakan bahaya minyak jelantah. Namun di Indonesia masih banyak orang berkepentingan terhadap peredaran minyak jelantah. Akibat regulasinya tidak berjalan,” ujar Sahat Sinaga.

Salah satu penelitian UK nutritionist menyebutkan minyak jelantah sangat berbahaya karena meningkatkan kolesterol, peroxides acid, dan penyebab kanker. Dalam minyak jelantah ditemukan toksit berupa hydorxy-trans 2-nonenal (HNE).

“Di Indonesia tidak ada penelitian universitas tentang ini dan kita juga heran. Pada hal bisa menyebabkan stroke, kardiovaskular, parkinson, liver dan kanker,” kata Sahat saat menjadi pembicara dalam hybrid webinar bertemakan “Kupas Tuntas Regulasi Minyak Jelantah Dari Aspek Tata Niaga dan Kesehatan”, Rabu (23 Juni 2021).

Acara ini diselenggarakan oleh GIMNI dan Majalah Sawit Indonesia dengan dukungan penuh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS). Kegiatan dibuka oleh Dr. Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian RI. Ada pun sambutan dari Eddy Abdurrachman, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dan Bernard Riedo, Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).

Dalam presentasinya, Sahat menjelaskan bahwa mayoritas penduduk Asia menyukai masakan-masakan bergoreng. Selanjutnya, sisa minyak goreng inilah yang menjadi minyak jelantah. Akibat pemakaian minyak goreng yang berulang-ulang. Berakibat kepada perubahan karakteristik minyak sawit baik fisik mau pun kimiawi. Antara lain: viskositas meninggi ( 33.7 -4 7,2 mm2/sec at 40 oC ); Density ; Acid Value ke 17,87 mg KOH/g ; kadar air di level 1.657 ppm ( TPM 20%) ; Warna coklat /hitam gelap. Semua proses tersebut menghasilkan karakter polar dalam jelantah, maka parameter TPM ( total polar material) adalah umum dipakai sebagai ukuran kerusakan minyak jelantah di Barat.

Dikatakan Sahat bahwa minyak jelantah biasanya diperoleh dari pengumpul lalu masuk ke dalam proses pembersihan dengan cara filtrasi. Proses itu untuk kebutuhan pembersihan dari partikel solid, air, dan pengeruhan.

Umumnya, minyak jelantah digunakan untuk kebutuhan non makanan. Di kawasan Eropa, kata Sahat, kebutuhan minyak jelantah juga sedang naik karena adanya insentif pemerintah untuk produksi biodiesel dari minyak jelantah.

“Tapi di Indonesia, banyak dijumpai eks minyak jelantah yang dijual kembali kepedagang minyak curah atau para penggoreng pinggiran jalan dan itu tidak terlacak,” ujar Sahat.

Di Indonesia, pengumpulan dan pengolahan minyak jelantah yang diperoleh dari Pengumpul – lalu perlu proses pembersihan terutama dari solid particles , water dan colour /turbidity dengan cara filtrasi /sentri fugal biasa. Setelah itu, diturunkan tingkat keasaman dengan banyak cara yang dipakai, mulai dari saponifikasi dan juga stripping treatment.

 

Sumber: Sawitindonesia.com