GIMNI usulkan regulasi khusus bagi peredaran minyak jelantah

 

minyak jelantah mengandung senyawa zat karsinogenik. Makanya, minyak jelantah ini dapat membahayakan masyarakat. Tapi ada peluang untuk digunakan menjadi biofuel

Jakarta (ANTARA) – Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengusulkan kepada pemerintah agar peredaran minyak jelantah atau minyak goreng bekas diawasi dan diatur dalam sebuah regulasi khusus untuk melindungi kesehatan masyarakat, memperoleh nilai tambah dan peningkatan kesejahteraan.

Ketua Umum GIMNI Bernard Riedo di Jakarta, Kamis menyatakan minyak jelantah merupakan limbah sisa minyak goreng dari kegiatan menggoreng makanan di rumah tangga maupun hotel dan restoran.

“Jika dilihat komposisi bahan kimianya minyak jelantah mengandung senyawa zat karsinogenik. Makanya, minyak jelantah ini dapat membahayakan masyarakat. Tapi ada peluang untuk digunakan menjadi biofuel,” ujarnya dalam dialog hybrid webinar bertemakan “Kupas Tuntas Regulasi Minyak Jelantah Dari Aspek Tata Niaga dan Kesehatan”.

Bernard Riedo menjelaskan minyak jelantah sudah menjadi barang yang dapat diperjualbelikan di masyarakat dan memiliki rantai dagang dari penjual, pengumpul, pembeli dan eksportir.

Namun, tambahnya, kesehatan masyarakat harus diperhatikan dan dilindungi supaya minyak jelantah tidak disalahgunakan untuk didaur ulang kembali menjadi minyak goreng.

Menurut dia, tren minyak jelantah saat ini banyak diperjualbelikan oleh individu atau masyarakat, selain itu masyarakat juga mulai melakukan pola pengumpulan minyak jelantah dengan tujuan sosial atau market.

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrahman menyatakan masih banyak ditemukan di pasar minyak goreng hasil re-proses minyak jelantah, yang diprediksi jumlahnya pada kisaran 16-22 persen.

“Ada kecenderungan menurun (jumlah minyak jelantah yang beredar di masyarakat), yang kemungkinan karena adanya minat negara lain untuk memanfaatkan minyak jelantah/used cooking oil sebagai bahan baku biodiesel,” ujarnya.

Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga meminta keseriusan pemerintah untuk membuat regulasi yang memperjelas definisi minyak jelantah dan pemanfaatannya di masyarakat.

Menurut dia, sebaiknya, ada kementerian yang ditugaskan secara khusus untuk mengawasi dan membuat regulasinya. Karena di negara-negara maju, kategori minyak jelantah ini sebagai limbah (sisa proses penggorengan). Di Indonesia, minyak jelantah belum dikategorikan secara khusus apakah masuk limbah B3 atau tidak.

“Yang pasti, minyak jelantah harus digunakan bagi kepentingan non pangan terutama energi. Apalagi, negara-negara di Uni Eropa sangat membutuhkannya dan siap membeli dengan harga berapapun. Kalau di dalam negeri, belum ada akses minyak jelantah untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel,” jelasnya.

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Perekonomian RI Musdalifah Machmud menerangkan dalam rangka antisipasi pengoplosan minyak jelantah pada minyak goreng serta pengurangan distribusi minyak goreng curah, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan.

Ke depan, pemanfaatan minyak jelantah dapat difokuskan kepada biodiesel, lanjutnya, dengan konversi 5 liter minyak jelantah menjadi 1 liter biodiesel maka potensi biodiesel menjadi 600.000 liter dari total jelantah yang dikumpulkan.

Menurut Musdhalifah, pemanfaatan minyak jelantah khususnya menjadi biodiesel dan pemanfaatan lainnya saat ini masih minim dimana hanya berkisar 20 persen dari total minyak yang dikumpulkan atau hanya sebesar 570 ribu kilo liter sedangkan sisanya digunakan sebagai minyak goreng daur ulang dan ekspor.

Dari data BPS, ekspor minyak jelantah pada 2019 sebesar 148,38 ribu ton atau 184,09 ribu Kilo Liter (KL), sedangkan data UN Comtrade dengan kode HS 151800 menyatakan nilai ekspor minyak jelantah mencapai 90,23 juta dolar pada 2019.

Ada 10 negara tujuan ekspor minyak jelantah Indonesia adalah benua Eropa, Asia, dan Amerika. Ekspor terbesar ke Belanda dengan nilai mencapai 23,6 juta dolar AS, disusul Singapura sebesar 22,3 juta dolar AS.

 

Sumber: Antaranews.com