Pemerintah perlu lebih proaktif mengatasi hambatan perdagangan produk minyak kelapa sawit dan turunannya untuk meningkatkan devisa Peningkatan cadangan devisa diperlukan untuk menjaga nilai tukar rupiah.

Jika hambatan ekspor tidak teratasi, ekspor produk minyak sawit dan turunannya dapat menurun yang berdampak pada penerimaan devisa. Hal itu disampaikan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono di Jakarta, Jumat (25/5/2018). “Pada triwulan 1-2018, kinerja ekspor minyak sawit dan turunannya menurun karena hambatan ekspor di sejumlah negara,” kata Joko.

Data dari Gapki menunjukkan, pada triwulan 1-2018, ekspor minyak sawit dan turunannya, termasuk biodiesel dan oleochemical, sebesar 7,84 juta ton atau turun sekitar 2 persen dibandingkan dengan triwulan 1-2017 sebesar 8,02 juta ton.

Penurunan kinerja ekspor itu, lanjut Joko, antara lain disebabkan hambatan dagang di sejumlah negara, seperti India, Uni Eropa, dan China. Di India, saat ini. diberlakukan tarif bea masuk untuk produk minyak sawit sebesar 40 persen dan produk turunan minyak sawit sebesar 25 persen. “Pada awal tahun 2018, bea masuk dinaikkan lagi dari sebelumnya 30 persen dan 15 persen,” katanya.

Kondisi itu memengaruhi ekspor produk minyak sawit dan turunannya ke India. Sebagai contoh, pada Maret 2018, ekspor minyak sawit dan turunannya ke India turun 8 persen, yaitu menjadi 408.650 ton dari 442.090 ton pada Februari 2018.

Naik sedikit

Karena itu, Joko memperkirakan, kenaikan ekspor produk minyak sawit dan turunannya pada 2018 hanya sedikit dibandingkan dengan 2017 karena berbagai hambatan ekspor. “Pada 2017, ekspor mencapai 31 juta ton. Mungkin di 2018 sekitar 31,5 juta ton,” katanya.

Untuk itu, pemerintah perlu lebih proaktif mengatasi hambatan ekspor produk minyak sawit“Penanganan hambatan ekspor di negara tujuan ekspor perlu dilakukan antar pemerintah atau g to g,” katanya.

Dari data Gapki, volume ekspor minyak sawit dan turunannya pada 2017 sebesar 31,05 juta ton senilai 22,96 miliar dollar AS dan pada 2016 sebanyak 25,11 juta ton dengan nilai 18,21 miliar dollar AS.

Bendahara Umum Gapki Mona Surya mengatakan, dari sisi produksi sampai pertengahan Juni 2018 diperkirakan produksi meningkat Produksi diperkirakan meningkat karena curah hujan relatif merata sehingga pemupukan juga menjadi lebih bagus. “Kalau produksi meningkat idealnya ekspor juga bisa meningkat,” kata Mona

Peningkatan produksi minyak sawit diperkirakan terjadi di daerah-daerah, seperti Kalimantan Timur. Ia menambahkan, pelaku usaha minyak sawit juga gencar mencari pasar baru.

Proses negosiasi

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, proses negosiasi dengan negara-negara tujuan ekspor minyak sawit, seperti Uni Eropa, terus dilakukan. Meski demikian, rekomendasi Parlemen Eropa terkait dengan pelarangan pemakaian minyak kelapa sawit pada biodiesel tidak dieksekusi Uni Eropa

Berkaitan dengan bea masuk yang tinggi di India, menurut Oke, tarif bea masuk itu diberlakukan untuk produk minyak sawit dari semua negara dan tidak ada unsur diskriminasi terhadap produk minyak sawit dari suatu negara

Oke menilai kenaikan tarif bea masuk produk sawit itu tentu dapat memengaruhi harga minyak sawit di India Padahal, masyarakat India juga menginginkan produk minyak nabati yang murah, termasuk minyak sawit.

Oke menambahkan, Pemerintah China telah meminta tambahan ekspor minyak sawit dari Indonesia sebanyak 500.000 ton. Dengan demikian, akan terjadi peningkatan ekspor minyak sawit ke China.

Sebagai gambaran, pada 2017, ekspor minyak sawit dan turunannya ke China sebanyak 3,73 juta ton. Ekspor minyak sawit dan turunannya pertama terbesar tahun 2017 adalah ke India sebanyak 7,62 juta ton dan kedua ke Uni Eropa sebanyak 5,02 juta ton.

 

Sumber: Kompas