Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri makanan memilih untuk tidak menaikkan harga pangan olahan meskipun harga bahan baku memperlihatkan kenaikan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan salah satu bahan baku yang memperlihatkan kenaikan adalah minyak sawit. Komoditas ini dipakai di banyak produk pangan olahan yang melalui proses penggorengan.
“Kenaikan harga minyak sawit ini pasti akan menyebabkan adanya kenaikan biaya produksi, kami menyadari itu dan mau tidak mau memengaruhi biaya pokok. Terutama pada produk turunan sawit, termasuk untuk ingredients pangan olahan seperti mie instan dan produk yang melalui proses penggorengan,” kata Adhi kepada Bisnis, Senin (30/11/2020).
Meski ada kenaikan harga pada biaya produksi, Adhi mengaku produsen pangan olahan tidak bisa serta-merta menaikkan harga barang yang dipasok ke ritel. Dia memperkirakan pelaku usaha akan memilih opsi mempertahankan harga karena mempertimbangkan daya beli konsumen yang belum pulih.
“Kondisi ini pernah kami rasakan ketika harga sawit menembus US$1.000 per ton. Tapi kalau melihat kondisi ini bagi kami akan sulit menaikkan harga karena belum normal. Saya lihat hampir sebagian besar akan bertahan dengan harga lama meskipun ada kenaikan biaya produksi,” kata Adhi.
Situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi industri makanan. Adhi menilai langkah menaikkan harga bakal memberi dampak besar terhadap sisi konsumsi jika diambil oleh produsen. Selain itu, dia meyakini fluktuasi harga sawit akan lebih terkendali ke depannya.
“Bagi industri sawit yang masuk ke industri makanan kenaikan harga memberi keuntungan juga. Jadi secara umum memberi dampak baik bagi sektor ini dan bisa terdongkrak pertumbuhannya,” lanjutnya.
Kenaikan harga minyak nabati ini pun dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga. Dia mengatakan harga minyak nabati di Dumai telah mencapai Rp9.550 per kilogram. Tetapi, dia mengatakan harga saat ini relatif turun dibandingkan pada bulan lalu yang mencapai Rp9.700 per kilogram.
“Kami perkirakan harga akan di kisaran Rp9.600 per kilogram di tengah ketidakpastian regulasi pungutan ekspor dan tentunya harga ke pangan olahan juga ikut terdampak,” kata Sahat saat dihubungi.
Mengutip laporan Bloomberg, harga minyak sawit yang hampir menyamai harga tertingginya pada 8 tahun lalu diperkirakan oleh sejumlah analis bakal berimbas pada harga pangan olahan di tingkat ritel. Pasokan yang ketat dan prospek pemulihan ekonomi membuat konsumsi bakal meningkat.
Sebagai bahan baku untuk separuh produk yang dijual di supermarket, harga minyak sawit naik 70 persen dibandingkan pada Mei lalu. Reli ini melampaui harga minyak kedelai yang naik 58 persen dibandingkan harga terendahnya pada Maret.
Cuaca yang tak mendukung telah mengganggu produksi minyak nabati lain seperti minyak kedelai. Pasokan minyak sawit pun semakin ketat seiring dengan terbatasnya jumlah pekerja migran yang mengelola perkebunan sawit di Malaysia, produsen terbesar nomor dua komoditas ini.
Sementara di Indonesia, laporan Gapki memperlihatkan bahwa produksi sawit per September 4,7 persen lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019.
Sumber: Bisnis.com